BINAR 2 - KALILA

141 8 2
                                        

Aku menahan nafasku melihat banyaknya pertanyaan yang diajukan teman-temanku pada Abimanyu. Dari sudut mataku, kulihat Abimanyu terlihat sangat santai dan percaya diri. Walaupun seisi sekolah ini mencapnya sebagai anak yang nakal, aku sangat menyadari betapa pintarnya dia.

       

Berada disampingnya seperti saat ini membuatku sulit untuk berkonsentrasi. Suaranya yang dalam dan tenang, selalu membuat hatiku berdebar-debar tanpa ampun.

           

Aku mengenalnya sejak kami kecil. Rumahnya berada di depan rumahku. Ketika itu, aku baru saja pindah dari kota lain. Sejak kecil ia memang sudah bersikap semaunya sendiri seperti itu. Tak jarang ia terlibat dalam perkelahian. Seringkali ia pulang dengan kondisi babak belur.

           

Bel yang menandakan pelajaran selesai sudah berbunyi. Abimanyu berhasil menjawab semua pertanyaan tanpa salah satu pun. Kulihat Ryan, terlihat sedikit kesal. Bisa dikatakan, Ryan adalah, atau dia menganggapnya sendiri, sebagai rival abadi Abimanyu. Ryan, aku, dan Abimanyu selalu menjadi teman sekelas hingga sekarang. Ryan dikenal sebagai anak yang pintar, yang selalu berhasil menjadi juara dalam setiap kompetisi pelajaran yang ia ikuti. Namun tidak sekalipun ia sanggup mengalahkan Abimanyu di sekolah.

           

Abimanyu selalu menjadi yang nomor 1 di sekolah kami. Padahal ia lebih sering tidur di kelas, dan tidak pernah memerhatikan pelajaran. Hal itulah yang membuat orang-orang seperti Ryan, terobsesi untuk mengalahkan Abimanyu.

           

“Lol,”

           

Tanpa melihatnya pun aku tahu siapa yang memanggilku. Hanya Abimanyu, satu-satunya orang yang berani memanggilku Lol. Sudah berbagai macam cara aku menolak panggilan itu, tapi bukan Abimanyu namanya yang mau menuruti permintaan orang lain.

           

“Napa?” tanyaku ketus.

           

Abimanyu berdecak. “Dasar tukang marah,” ujarnya sembari menarik pelan rambut ekor kudaku, satu lagi kebiasaan buruk Abimanyu padaku.

           

“Bodo.”

           

“Nanti malem temenin aku ke toko buku dong.”

           

“Aku mau pergi sama Neisya.”

           

“Pokoknya jam tujuh kurang lima belas, aku udah ada dirumah kamu.”

           

Aku memutar mataku. “Kenapa harus make kurang lima belas menit sih? Kenapa nggak jam tujuh pas sih?” omelku.

           

“Lima belas menit itu waktu buat dijalan. Jadi sampenya pas jam tujuh.”

           

“Abi, kalo Lila nggak mau pergi sama kamu, aku mau kok.” Terdengar suara dari orang yang paling aku benci seumur hidupku, Nana, mantan kekasih Abimanyu, yang juga orang paling cantik di sekolah ini.

           

Aku tersenyum penuh kemenangan ketika Abimanyu tidak menggubris ajakan Nana. Dengan santainya ia berjalan keluar kelas, meninggalkan Nana yang yang masih berusaha mencari perhatiannya.

BINAR YANG PADAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang