Namanya Ara, wanita yang mencintai salah seorang laki-laki yang tak lama ia kenali, namanya Dico. Tapi, Ara selalu merasa bersalah akan perasaannya yang mencintai orang yang telah mempunyai pasangan, sebenarnya dirinya juga.
"Aku tidak pernah tau bagaimana perasaanku. Tapi, kenapa Dico hadir dan mengubah semuanya ...bahkan Dico tidak mengenalku, rasanya ...." gumam Ara di depan cermin dengan buku catatan pribadi di tangannya seperti, seorang wanita menghafal surat cinta.
Tidak lama pintu kamar Ara terbuka oleh seseorang, mengganggu Ara yang tengah berbicara dengan dirinya sendiri, "Lagi ngapain?" tanya seorang pria, umurnya tidak jauh dari Ara.
"Kakak, apaan sih? Ganggu aja." Ara membentuk bibirnya seperti sebuah kerucut, membelakangi pria yang ia sebut kakak 'itu'.
"Aku kan cuma mau minta tolong, Dek." Kakak Ara, namanya Deri, pria menyebalkan juga kejam untuk Ara.
Ara membuang nafas, lalu berhadapan muka dengan Deri, "Ada apa, Kak?" tanya Ara. "Aku tidak mau, ya ...jika kakak menyuruhku untuk melakukan sesuatu!" seru Ara.
Deri merangkul pundak adiknya, "Kakak cuma minta tolong masakin mie instan, kakak laper," pinta Deri dengan wajah melasnya.
Ara merasa tidak tega, ia terpaksa melepas rangkulan kakaknya lalu pergi ke dapur, "Ara ...bantu kakak dong! Ara ini dong itu dong." Ara mengambil spatulanya dengan kasar, seraya terus meledek gaya bicara kakaknya.
Siang itu memang menyebalkan untuk Ara, sudah lelah di perintah pula, katanya.
***Masih memikirkan Dico, Ara merasa Dico terlalu istimewa untuknya, sangat istimewa. Perbedaan, tidak mengenal satu sama lain, dan juga hubungan dengan seseorang yang masing-masing dalam keadaan gantung.
"Kau kenapa?" tanya Kelly, sahabat Ara.
Ara menutup buku catatannya, "Tidak apa-apa."
Halaman rumah Ara bagian depan terlihat basah dan becek sebab hujan siang itu, apalagi kedatangan Kelly-sahabatnya- yang membuat Ara semakin sibuk dan repot.
Deri melangkah keluar menemui adiknya dengan semangkuk mie instan di tangannya, "Eh, ada Kelly ...main, ya?"
"Main sekalian mau kerjain sesuatu, kak," jawab Kelly sembari membuka buku catatannya.
Ara memperhatikan Deri melalui sudut matanya, "Kenapa tatapannya gitu? Gak sopan banget sama abang sendiri!" sindir Deri membuat Ara kembali ke pandangan semula.
Deri kembali masuk ke dalam, meninggalkan Ara dan Kelly di luar, "Ara, apakah kau menyukai Dico?" tanya Kelly penasaran.
Ara menggelengkan kepalanya perlahan, tanda ia tidak menyukai Dico.
Kelly tetap bersikeras menelusuri rahasia Ara, "Baiklah, aku suka Dico, kau puas!" Ara kesal pada Kelly, ia berdiri lalu masuk ke dalam.
***Pagi ini masih terlihat gelap, tidak seperti biasa. Ara memperhatikan sekitar rumahnya dari jendela kamar yang hanya terbuka tirai jendela saja, air embun membasahi sebagian kaca, membuat Ara sedikit merasa bahagia akan pemandangan yang sederhana di depan matanya.
"Ibu, aku berangkat sekolah." Ara menyampirkan tasnya di bahu, buku di pelukannya.
"Dek, rambutmu kenapa gak diikat?" tanya Deri saat Ara melintas di depannya.
Ara berhenti melangkah, memperhatikan Deri yang tengah memakai sepatu istimewanya, "Hmm ...kakak mau bawa motor gak?"
Deri berbalik memperhatikan Ara, "Bawalah, kenapa?" tanya Deri. Ara menatap Deri dengan tatapan memohon, "Anterin Ara dong kak ...jalan capek nih ...."
Deri melongo melihat tingkah adiknya, "Anterin? Oke, bentar ya."Ara pergi menunggu Deri di luar, "Kak, helm- nya dua ya!" seru Ara. "Iya Dek," sahut Deri dari dalam garasi.
***Padahal masih pagi tetapi, jalan tol sudah sangat padat oleh mereka yang akan bekerja. Tidak disengaja, Ara menoleh ke belakang dan disana Dico tengah terjebak macet seperti dirinya. Dico melambai, "Ara, dianterin, ya?" tanya Dico yang hanya dibalas anggukan pelan oleh Ara.
Dico memperhatikan Ara dari sudut matanya. Ara terlihat gelisah dan mulai berkeringat, padahal Dico tidak melakukan apapun yang membuat Ara setegang 'itu.
"Kak, ayo dong maju ...," Ara merengek seraya mencubit pinggang kakaknya. "Aku malas ada di sini lama-lama!"
"Ck, bentar ...yang depan enggak maju," gumam Deri sedikit kesal juga.
Ara semakin gelisah dengan jantungnya yang berdetak tidak karuan sedangkan, Dico masih terlihat biasa saja melihat tingkah Ara.
Deri sedikit melirik Dico, lalu melihat Ara, "Oh, pantesan gak diem ...," ejek Deri, "ada pacarnya, ya."
"Hah, enggak kok kak ...apaan sih."
Dico tersenyum tipis, "Ara, aku duluan, ya!" seru Dico sembari melajukan sepeda motornya. Ara mengusap dada, "Akhirnya pergi ...kenapa dia tau namaku, ya," ucapnya. Deri tersenyum sinis, "Dia cari tau kali." Ara mendengus kesal seraya mencubit pinggang sang kakak.
***"Kak, Ara masuk, ya ...dahh," tutur Ara sembari terus berjalan ke dalam area sekolahnya yang luas. Deri melambaikan tangannya pada Ara, lalu berangkat kembali menuju kampusnya.
Dico terlihat duduk di depan kelasnya, mungkin menunggu teman-temannya yang belum datang. Ara kembali gelisah, keringat dinginnya sudah membasahi seluruh wajah terutama dahi, "Ara, kau kenapa?" tanya Dico saat melihat Ara yang berdiri kaku tak jauh dari tempatnya duduk.
Ara senyum terpaksa, "Eh, Dico! Aku mencari Kelly, apa kau melihatnya?" tanya Ara. Dico menggeleng tanda 'tidak tau', "Kau di sini saja denganku," ucap Dico seraya membersihkan lantai di sampingnya menggunakan tangan.
"Kau yakin? Tidak akan ada yang marah? Tidak papa aku menunggu Kelly di taman saja, aku duluan." Ara pergi meninggalkan Dico yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya.
***Ara terduduk diam di taman, hatinya hancur saat mengatakan 'tidak akan ada yang marah'. Tertawa di balik kesedihan itu tidak mudah, hati yang kuatlah yang mampu begitu.
Kelly datang, melihat Ara menangis seketika membuat Kelly terperanjat dan memeluknya, "Ara, kau baik-baik saja?"
Ara menangis di pelukan Kelly, "Iya, aku tidak papa ...aku lebay saja."
Kelly terus memeluk erat Ara.Dico menghampiri mereka, "Kau kenapa?"
Ara menghapus air matanya, berpura-pura seperti orang yang matanya terkena debu, "Tidak, aku tidak apa-apa," jawabnya.
Dico mengangguk pelan, meminta Kelly untuk pergi, dan duduk di samping Ara, "Kau kenapa? Ceritakanlah padaku!" serunya.
Ara masih menunduk, bahkan enggan menatap Dico sekalipun, "Apakah kau menangis gara-gara aku, ya?" tanya Dico terus terang.
Ara terperanjat, "Apa? Oh tidak, ini semua bukan salahmu ...tadi kakakku meledekku, itu saja." Ara menatap Dico dengan serius, seperti orang yang memang tidak bohong.
Dico mengernyitkan dahinya, "Aku rasa kakakmu tidak meledekmu tadi, kau bawa ponsel, ya?"
Ara mematung, "A-aku ...tidak aku tidak bawa p-ponsel," ucapnya terbata. "Ini hanya masalah tadi di rumah, Dico." Dico mengangguk mendengar semua penjelasan Ara.
Ara mengambil tasnya, merapikan rambutnya, lalu bergegas pergi meninggalkan Dico, "Maaf Dic, aku harus pergi ...sampai jumpa di lain waktu."
"Kita akan bertemu kapanpun Ara."
'Sekali kamu memberi harapan, diriku akan terus bertahan ...hanya untuk menunggu kapan perasaanmu akan diungkapkan, meskipun aku tak tau, siapa yang akan mengisi hatimu di lain waktu.'
✓ Ada Luka di balik perasaan yang tersembunyi √
Bersambung~
KAMU SEDANG MEMBACA
F E E L I N G ✔✔✔ [Lanjut; Feeling 2]
Romance[ Noyaa Min ] Kemarin, kemarin, dan kemarin lagi, aku mencintai seseorang. Tetapi, hatiku salah memilih, dia memiliki pasangan yang mungkin tak dapat aku pisahkan, aku hanya akan menyakiti seseorang. Rasa ini terus aku pendam, tak akan pernah ada ma...