13

8 2 0
                                    

Pagi ini Ara sudah siap untuk pergi ke sekolah, bahkan Tania sudah mempersiapkan segalanya sebelum ia berangkat berkerja.

"Ara, ini jaketnya harus dipake, ya! Ini obatnya harus dibawa, bekal kamu awas ketinggalan," kata Tania.

Ara tertawa kecil sembari menuruni tangga, "Tumben ibu belum berangkat kerja? Wah, tumben juga bekal makanku makanan kesukaanku," ujarnya.

Tania menghampiri Ara, "Ibu berangkatnya nanti aja, nanti di sekolah kamu jangan capek-capek, ya," tutur Tania yang dibalas anggukan semangat dari Ara.

Ara diantar Deri hari ini, sesampainya di sekolah Ara mendapati Dico tengah duduk berdua bersama Carissa di depan kelasnya, "Itu Dico, ya? Bara mana?" Ara kemudian menghampiri Dico dan Carissa.

"Kalian liat Bara sama Jesen gak?" tanyanya.

"Enggak, dari tadi kami gak liat mereka," jawab Carissa.

"Oh, makasih ya," ucap Ara sembari meninggalkan mereka berdua.

Ara sebenarnya tak setegar itu, ia hanya pura-pura tegar di hadapan dua pendusta itu, tak mungkin ia terlihat lemah. Angin pagi sedikit kencang saat itu, membuat Ara menggigil kedinginan padahal jaket yang ia kenakan sudah ia kunci menggunakan resletingnya.

"Ra, lagi apa?" tanya Kelly begitu ia sampai di belakang Ara.

Ara menoleh, "Aku lagi nunggu kalian, tapi kok kamu sendirian? Ya udah deh gak papa, abangku masih ada di depan gak?"

Kelly menggeleng, "Enggak, bukannya abangmu udah pergi sedari tadi, ya?"

"Oh iya aku lupa," ucap Ara seraya memegangi kepalanya yang terasa sakit.

"Loh, kenapa?" tanya Kelly dengan wajah cemasnya.

Ara tersenyum walaupun wajahnya pucat seperti mayat, "Tidak papa. Oh iya, ibuku menyuruhku meminum obat saat aku merasakan sakit kepala,"ucapnya seraya membuka tasnya.

Kelly membantu Ara meminum obat, dibalik itu Bara dan Jennifer terlihat cemas melihat keadaan Ara, bahkan Jesen sudah tau bahwa Ara mengidap penyakit yang mematikan.

"Sudah mendingan belum?"

Ara masih tersenyum, "Sudah tidak apa-apa, eh itu Bara, Jennifer, sama Jesen kan," ucap Ara seraya menunjuk Bara yang bersembunyi di balik salah satu tihang.

Terpaksa Bara, Jennifer, dan Jesen keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Ara, "Kenapa malah sembunyi padahal aku nyariin kalian loh," ucap Ara lagi.

Bara menunduk merasa bersalah, "Maaf, aku hanya ...,"-Ara menempatkan telunjuk mungilnya pada bibir merah Bara-"aku kan mau ngomong!" ucap Bara setelah menyingkirkan telunjuk Ara dari bibirnya.

"Maaf, soalnya kau ini berisik!"

Jesen masih diam, dia masih tidak kuat untuk berbicara, hingga Ara memutuskan untuk menyapanya.

"Ih, Jesen diem aja! Kedengeran kali suara aku, masa gak disapa, nyebelin emang!" kata Ara seraya menepuk keras bahu Jesen.

Jesen mengusap bahunya, "Maaf, aku kan gak bisa liat kamu, lagian telinga aku kan gak selamanya fokus," ucapnya.

Ara merasa tersinggung, ia merasa bahwa dirinya telah merendahkan Jesen, "Maaf, aku bikin kamu sedih, ya?" tanya Ara yang dibalas gelengan pelan dari Jesen.

Dico melintas di hadapan mereka, "Udah sembuh?" tanyanya datar pada Ara.

Ara menghentikan senyuman di wajahnya, "Udah."

"Oh. Dasar cewek penyakitan, makanya kalau udah lemah gak usah dipaksain!" ejek Dico seraya pergi.

Perlahan Ara menumpahkan air mata berharganya, ia tak tahan dengan penghinaan yang dilontarkan seorang pria yang selama ini ia cintai.

'Sekarang aku mengerti, perasaan tak selamanya tetap sama. Bagaimana kotamu sekarang? Pasti sudah ramai kembali, sebab itu kamu meninggalkan aku.'

Ara masih menangis, sedangkan Bara merangkul Ara dan menyabarkannya dengan mengelus lembut rambut Ara, "Udah biarin aja, kan masih ada kita," ucapnya yang dibalas anggukan oleh Ara.

Jennifer menghentakkan kakinya kasar, "Dasar si Dico nyebelin, gak punya hati!" ucapnya.

Kelly menggeleng pelan, "Ck, gak apa-apa kok, Ra. Masih banyak cowok lain."

"Iya, Bara misalkan." Jesen menambahkan.

Ara hanya menangis, ia tertekan dan mulai kehilangan kesadarannya. Hingga Bara merasakan bahwa Ara pingsan di pangkuannya.

"Ra, eh dia pingsan! Gimana nih? Telpon bang Deri, aku bawa Ara ke UKS," ucap Bara seraya memangku Ara menuju UKS.

Jennifer mulai memainkan jari lentiknya di atas layar ponselnya, "Ck, Hallo!"

Deri menutup telinganya, "Apaan sih?"

"Datang ke sekolah sekarang, Ara pingsan gara-gara Dico." Jennifer memutuskan sambungan telpon dan menyusul Kelly, Bara, dan Jesen yang membawa Ara ke UKS.

Bara terdiam seraya menggenggam kuat tangan Ara, tangannya sendiri mulai dingin, matanya berkaca-kaca menahan tangis, dan keringat dinginnya bercucuran membasahi wajah putih mulusnya.

"Kenapa harus dia yang sakit? Kenapa gak aku aja?" ucap Bara.

Jesen mengelus bahu lebar Bara, "Jangan gitu Bar, pasti Ara sembuh kok."

"Kemungkinan kan?" ucap Bara seraya mengalihkan pandangannya.

Bara keluar dari UKS dengan langkah yang terburu-buru menuju ruang kelas Dico. Jennifer dan Kelly bergegas mengikuti Bara yang terlihat emosi.

Dico tengah duduk berdua dengan Carissa, dan Bara datang lalu menarik kerah baju Dico yang masih terlihat rapih, "Lu udah bikin Ara sakit, lu udah berubah, lu ngebantah nyokap lu karena cewek lonte ini? Lu liat Ara sekarang, gara-gara lu dia sakit, ngerti!"

"Bar, Bara udah dong," ucap Kelly menenangkan suasana.

"Gak bisa Kell, dia harus minta maaf! Dia ngehina orang!"

Dico menarik balik dasi Bara yang lebih tinggi darinya, Bara yang memakai switer membuat Dico sulit membalas perbuatannya, "Kenapa? Susah balas gua? Makanya pacaran jangan sama cewek lonte!" ucap Bara seraya melepaskan tangan Dico dari switernya lalu pergi.

"Lu cuma gitu doang, Bar, lu gak ada apa-apanya di mata Ara, cuma gua yang ada di hati dia!"

"Diem lu Dic, jangan banyak omong! Udah tau salah masih aja bela-belain diri!" ucap Jennifer seraya menatap Dico sinis.

Dico membuang nafas kesal, "Gara-gara si Ara, gua yang kena imbas si Bara, awas lu, Ra!"

Ara sudah sadar pada jam istirahat, dan berniat untuk ke kantin dengan Deri yang menemaninya sedari tadi.

"Kak, aku sendiri aja. Kakak harus kuliah kan?" tanya Ara.

Deri mengangguk, "Iya sih, tapi lu gimana?"

Ara melepaskan genggaman tangan Deri dari tangannya, "Enggak apa-apa kok kak, kakak pulang aja." Deri kemudian pergi untuk kuliahnya.

Rencana Dico untuk membalas dendam sudah tepat, tidak ada siapapun di sisi Ara. Dico melintas di samping Ara yang akan menuruni tangga, lalu menyenggolnya hingga hampir terjatuh.

"Awh, Dico!"

"Sorry cewek lemah, gua gak liat!" ucapnya seraya pergi, "gagal lagi, gagal lagi, padahal tuh anak lagi sendirian."

Ara mengelus lembut dadanya, "Astaga, Dico gitu banget sama aku, apa sih salah aku sama dia? Huft," ucapnya seraya menuruni tangga secara perlahan.

Bara melihat itu semua, pria tinggi itu kemudian menghampiri Ara lalu menggenggam tangannya, "Maaf, aku telat. Si Dico mau nyelakain kamu ya tadi?" tanya Bara yang dibalas anggukan oleh Ara.

F E E L I N G ✔✔✔ [Lanjut; Feeling 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang