Henry Dougthen duduk di bawah pohon rindang yang ada di kebun Mama sambil menjilati es loli murahnya. Mata hijau zamrudnya bergerak kesana kemari menyari sesuatu yang menarik. Kaki-kaki kecilnya bergoyang kecil.
Ia menunggu Papa pulang bekerja dan menunggu Mama membawa pulang Eric, kakak laki-lakinya, dari sekolah. Henry mengamati anak-anak desa yang bermain di depan rumah. Mereka bermain macam-macam boneka tangan yang sangat lucu, Henry juga ingin ikut.
Ia menghampiri segerombolan anak tersebut yang semuanya berjenis kelamin perempuan."Bolehkah aku ikut bermain?" tanyanya dengan senyum.
Anak-anak perempuan tersebut hanya melirik kemudian menyibukan diri dengan boneka mereka lagi. Henry mendesah, Mama berkata dia tidak boleh kesal. Dia tidak boleh memarahi orang lain. Henry kembali duduk di bawah pohon. Kali ini dia mengamati ulat-ulat kecil yang merayap menuju daun.
Henry bosan. Dia tidak pernah boleh keluar rumah walau hanya sekedar berjalan-jalan, Mama berkata nanti menyusahkan. Ia juga harusnya sudah bisa ikut bersekolah di sekolah umum dekat perbatasan desa Etelich dengan desa Anerthen.
Pekerjaannya setiap siang adalah menunggu Mama pulang, memberi makan ternak, dan menyiram tanaman di kebun. Ia tadi hanya iseng membeli es loli murah dengan satu-satunya koin perunggu yang tersisa di kantung bajunya. Seharusnya dia tak boleh membeli itu.
Henry tidak mengerti mengapa Mama melarangnya tentang macam-macam sedangkan Eric bisa melakukan apa saja ia mau.
Anak itu menghampiri kandang berisi ayam-ayam yang sudah mulai besar, ia menumpahkan sekantung makanan Ayam ke tanah dan memperhatikan mereka makan. Selagi Ayamnya masih sibuk dengan makanan, ia memunguti telur-telur ayam yang kelihatannya baru saja keluar. Henry menaruh telur-telur Ayamnya di keranjang hasil anyaman rotan. Kaki-kaki kecilnya berjalan memasuki rumah dan menaruh keranjang penuh telur di meja depan perapian.
Henry masih berusia 9 tahun. Kemampuannya berpikir sebenarnya sudah jauh lebih matang dari anak seumurannya, hanya saja Mama tidak ingin Henry pergi ke sekolah.
BRAK!
"Kau yakin baik-baik saja?" tanya Mama yang baru saja membuka pintu kasar dan buru-buru membawa Eric ke depan perapian. Henry nyaris terjungkal ke belakang saat tubuh Mama menabraknya, seakan ia tidak terlihat.
Henry akui, Eric kelihatan kacau sekali. Tubuhnya basah kuyup seakan ia baru saja jatuh ke dalam sumur. Henry segera mengambil selimut kumal dari kamar Eric dan memberi kepada Mama. Ia tak mau Eric kedinginan.
"Mama, apa--"
"Jangan banyak bicara," potong Mama dengan tegas. Henry menatap Mama yang merogoh sesuatu di keranjangnya. Sesaat kemudian Mama melempar sesuatu ke wajah Henry."Aku menemukannya di tempat pembuangan sampah. Kau kan suka membaca."
Henry menatap benda yang tadi di lemparkan oleh Mama. Itu adalah buku dongeng yang kelihatan sudah nyaris rusak, tapi masih bisa terbaca. Henry langsung melompat kegirangan dan duduk di sudut ruangan sambil membaca buku dongeng barunya.
Lihat, Henry tak pernah melihat, datang, atau merasakan apa itu sekolah. Tapi ia bisa membaca dengan fasih dan cepat.
"Kenapa kau duduk di sana? Taruh buku jelek itu dan bawakan kakakmu secangkir teh!" Mama berteriak tiba-tiba membuat Henry segera bergerak menuju dapur untuk memasak air menggunakan tungku.
"Mama, kita kehabisan kayu," ujar Henry sedikit keras dari arah dapur. Henry dapat mendengar Mama menyumpahinya dengan kasar walau dengan suara kecil.
"Ambil kayu di kebun."
Henry menatap tangan kecilnya."Tapi, Ma, Papa belum kembali. Aku tak bisa mengan--"
"Pakai akalmu. Aku tak pernah mengajarimu jadi anak bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thymes
FantasyTherese, penyihir penguasa kegelapan, akan datang dalam jangka waktu dekat. Para Amithern kelabakan mencari pendekar-pendekar yang di takdirkan melindungi bumi dari para penguasa kegelapan. Samantha, Elena, Elliot, dan Henry sama-sama membuat disku...