Samantha menghirup napas banyak-banyak ketika kepalanya muncul di permukaan. Dadanya sakit bukan main, oksigen yang tersedia di dalam paru-parunya mulai menipis. Gadis itu berenang dengan sisa tenaganya ke tepi sungai.
Ia merangkak di tepi sungai yang beralaskan rumput-rumput hutan. Terbatuk-batuk mengeluarkan air yang masih menggenang di dalam tubuhnya. Samantha menyeret gaun pengantin lusuhnya dan bersender pada pohon oak besar.
Dadanya naik turun untuk mengatur napasnya agar kembali normal. Ia mengamati keadaan sekeliling, asing, dingin, dan terasa berbahaya. Jelas bukan daerah Dhaters.
"Oh, astaga!" Samantha nyaris menjerit. Kepalanya di tekan ke belakang karena reflek. Tubuh-tubuh tak berdaya mengambang di sungai. Mereka terlihat sudah mati.
Samantha mengatur napasnya, ia berjalan dengan tertatih untuk memungut tubuh-tubuh itu ke tepian. Dua orang anak laki-laki dan seorang wanita berhasil di keluarkannya dari air.
Gadis itu tak yakin mereka masih hidup. Kulit-kulit mereka pucat pasi dan ia jelas-jelas bisa melihat memar-memar serta jejak darah di pakaian mereka. Samantha menarik napasnya, ia meraba pergelangan mereka satu persatu dan bawah hidung mereka.
Hidup. Mereka masih hidup.
Samantha menghela napas lega. Ia tidak tahu apakah orang-orang di hadapannya sebuah ancaman atau bukan, tapi mereka terlihat terluka. Setidaknya jika mereka adalah ancaman, mereka tak akan begitu kuat. Mereka bahkan terlihat seperti korban pembunuhan berantai.
Samantha menarik rambutnya kuat-kuat membuat kepangannya menjadi rusak. Ia menarik berlian-berlian di rambutnya dan menyimpannya di kantung gaunnya. Gadis itu menatap tangan-tangannya sendu. Hatinya bertanya-tanya, mengapa dewa membiarkannya hidup. Ia ingat jelas sekali bagaimana dia menjatuhkan tubuhnya ke sungai paling mematikan, sungai Savory.
"Uhuk!" Samantha bangkit dengan siaga. Anak laki-laki terkecil terbatuk hebat, memar-memar masih terlihat jelas menghiasi wajahnya. Anak tersebut menatap Samantha sayu. Bingung dan ketakutan.
Anak itu berusaha bangun dengan menopang tubuhnya dengan tangan kecilnya. Ia bergetar menggigil. Dia berhasil duduk dengan susah payah, matanua takut-takut melihat gadis di hadapannya.
Samantha luluh. Anak itu tidak mungkin ancaman. Terlalu muda dan kecil untuk menjadi ancamannya. Gadis itu menghampiri si bocah dengan ragu-ragu."Hei, siapa kau?"
Dia diam. Menggeleng kecil kemudian menyembunyikan wajahnya."Ayo, jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu."
"M-Mama bilang tidak boleh berbicara dengan orang asing," katanya serak.
Samantha tersenyum samar. Ia mengulurkan tangannya pada anak tersebut."Aku Samantha. Nah, kau mengenalku sekarang."
"Henry."
"Oke, Henry, kemari," Samantha membawa anak itu bersender pada pohon oak. Henry masih kelihatan ketakutan, Samantha sebisa mungkin membuatnya nyaman. Walau anak itu kelihatan kecil sekali, setidaknya Samantha tak terjebak sendirian."Tunggu sebentar disini, jangan pergi."
Samantha menghampiri sisa dsri tubuh-tubuh tak berdaya. Tersisa seorang anak laki-laki yang kelihatan sebaya dengannya dan seorang wanita dewasa. Gadis itu mendapati ada luka yang kelihatan berat di sekitar perut mereka, kelihatannya memang benar-benar korban pembunuhan. Tidak ada pendarahan, tapi lukanya terlihat sangat jelas dan membuat Samantha merinding setengah mati.
Luka si anak laki-laki kelihatan lebih dalam. Lukanya menembus hingga punggung, ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya. Mengetahui kalau mereka berdua masih hidup benar-benar terdengar mustahil.
"Samantha, mereka siapa?" Henry bertanya dengan suara kecilnya.
Samantha menggeleng."Belum tahu."
"Berikan mereka air," kata Henry semangat."Aku selalu bangun kalau di siram air oleh Mama!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Thymes
FantasyTherese, penyihir penguasa kegelapan, akan datang dalam jangka waktu dekat. Para Amithern kelabakan mencari pendekar-pendekar yang di takdirkan melindungi bumi dari para penguasa kegelapan. Samantha, Elena, Elliot, dan Henry sama-sama membuat disku...