Lelaki dengan setelan jas kelabu mahal itu tersenyum miring, menimang–nimang rangkaian mawar kecil cantik ditangan kanannya dengan dahi berkerut tajam. Sesaatnya dia mendongak, menatap langit jingga yang terbias cantik bagai rona surga, dan setelahnya dia menunduk hanya sekedar menampilkan senyum misteriusnya.
"Tuan,"
Lelaki lain berjas kelam menyambutnya didepan sedan Luxury hitam mengkilat, membungkuk kecil sebelum membukakan pintu untuk tuannya.
"Lucas" Panggilnya datar tanpa intonasi, Lucas menoleh dan memasang wajah siap menerima perintah.
"Pastikan semua berjalan sesuai rencana, aku tidak mau ada kata gagal." Kalimat mutlak berisi ultimatum bahwa nyawa Lucaslah taruhannya jika dia gagal melaksanakan perintah Tuannya. Lelaki pucat itu hanya mengangguk dengan wajah dingin.
"Baik."
Si Tuan kemudian mendudukkan bokongnya keatas kursi mobilnya dengan nyaman, menyilangkan sepasang kaki jenjang dengan congkaknya. Ditatapnya sekali lagi rangkaian bunga mawar itu dengan teliti sebelum membuangnya sia–sia kebawah kakinya. Ekspresinya tidak terbaca, antara sebuah senyum dan ancaman. Rangkaian bunga yang cantik, tapi sayang. Dia lebih menyukai si 'perangkai' daripada 'rangkaiannya'.
.
.
.
Lonceng kecil diatas pintu masuk berbunyi saat Yora tengah merangkai sebuah bunga Latullip pesanan seorang gadis remaja yang akan datang satu jam lagi. Gadis manis dengan apron biru langit yang membalut tubuh mungilnya itu sontak menoleh, menjeda sesaat pekerjaannya untuk tersenyum dan mendapati seorang lelaki dengan seragam sekolah menengah yang kusut –sekusut wajah tampannya– itu memasuki toko.
"Hanbin," Sapanya ceria. Dia melepas guntingnya keatas meja dan menyambut adik lelaki satu–satunya tersebut dengan hangat.
"Kau terlihat lelah,"
"Yeah, aku sangat lelah sekali Noona." Hanbin mengeluh panjang sambil meletakkan ranselnya diatas meja kemudian tersungkur diatas sofa. Yora tertawa dibuatnya, gadis itu lalu berjalan kebelakang menuju dapur kecil dan membuatkan adiknya itu secangkir coklat hangat. Orang bilang, rasa manis coklat akan menetralisir perasaan atau fikiran yang sedang kacau. Yora lalu kembali dengan satu cangkir coklat panas yang mengepul, gadis itu membangunkan adiknya yang tengah memejamkan mata agar meminumnya.
"Terimakasih Noona," Jawab Hanbin menyeruput kecil coklat itu dari bibir cangkir, lelaki delapan belas tahun itu kemudian berguman kecil sebelum menyeruput lebih banyak lagi. Yah, tangan Noonanya itu memang ajaib dalam hal apapun.
"Bagaimana sekolahmu?"
"Hum. Pengumuman kelulusan baru minggu depan," Sahut Hanbin pelan, dia meletakkan cangkir coklatnya yang tersisa setengah keatas meja kemudian menatap Noonanya serius.
"Kepala sekolah tadi memanggilku, dia bilang aku lulus tes masuk Universitas Oxford. Hanya dua orang dari seratus pendaftar,"
"Apa? Wah, itu hebat Hanbbine,"
"Tapi masalahnya Noona," Raut senang diwajah Yora sontak luntur seketika, dia kemudian menatap adiknya dengan cemas. Gadis itu berdebar menebak sesuatu yang mungkin akan Hanbin ucapkan.
"Biayanya sangat mahal, kalaupun mendapat beasiswa, itu hanya separuh dari biayanya." Hanbin menghela nafas gusar, lelaki itu kemudian menatap kearah Noonanya yang terdiam dengan muka sedih.
"Tapi tidak apa kok Noona, aku akan kuliah di universitas swasta saja sambil bekerja membantu Noona," Potong Hanbin cepat dengan ekspresi yang dibuat sesenang mungkin, dia hanya tidak mau membuat Noonanya merasa sedih dan kepikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
PrimRose ❤
Teen FictionYora BagaiKan mawar yang lugu,Polos dan Naif Yang Terjerat di sangkar Emas Maxwel Miller