part 3

2 2 0
                                    

"Gaun itu cocok untukmu, kau terlihat manis." Yora melangkah mundur dengan kepala menunduk, mencengkram erat ujung gaun tidurnya sambil menggigil takut saat mendapati lelaki dengan setelan jas mahal itu menatapnya intens.

"Bagaimana ini? Aku jadi bergairah." Lelaki itu mengangkat bahu acuh dan Yora yang mendengar itu sontak langsung mendogak. Dia itu wanita normal dan dia paham apa maksud dari ucapan lelaki itu. Menyadari bahwa hanya ada mereka dua didalam kamar ini, membuat Yora kembali was–was, dia kembali menghindar, mencoba mencapai pintu.

"A–apa, maksudmu?"

"Huh, maksudku?" Max tersenyum miring, membuka kancing jasnya satu persatu dengan perlahan, membuat Yora semakin bergetar tak karuan. Oh, aura sekitar mulai berubah.

"Tu–tunggu! Apa yang kau lakukan? Jangan bergerak!"

"Kenapa manis?"

"Jangan berbuat macam–macam atau aku akan berteriak!" Ancam Yora, namun balasan Max hanyalah kekehan nyalang sebelum menatap Yora tajam.

"Seharusnya kau sadar apa posisimu disini Yora Astan" Lelaki itu menatapnya sinis dengan tatapan gelapnya, auranya seketika berubah menjadi tekanan kuat yang semakin membuat Yora rasanya ingin mati. Tubuhnya bergetar dan dia mencoba kabur saat lelaki itu mulai membuang jasnya kesembarang lantai. Yora sudah mencapai pintu dan sialnya itu terkunci. Yora berteriak, mengetuk pintu dengan brutal. Membuat Max tertawa dibuanya.

"Simple saja. Aku menginginkanmu malam ini."

"Tidak! Jangan mendekattt. Kau sudah menculikku, aku akan melaporkanmu kepolisi jika berani bergerak selangkahpun." Yora menjerit.

"Huh? Menculik? Ck, aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku manis."

"Apa maksudmu?" Yota menaikkan alisnya bingung sementara Max hanya mendecih.

"Buat aku terkesan malam ini."

"Tu–tunggu. Apa maksudmu? Jelaskan! Jelaasskan padaku apa yang terjadi." Yora kembali menyuarakan pertanyaannya yang tak kunjung mendapat jawaban dari siapapun. Tolong siapapun beritahu apa yang tengah terjadi saat ini.

"Kau ingin tahu?" Max meraih dasinya, melepaskan simpul mencekik itu dari lehernya, mendekati  Yora dengan benda itu sementara Yora meringsut mundur dan membentur pintu dibelakangnya.

"Sulit menjelaskan, tapi aku telah sah membelimu, Yora Astan"

DEG!

"A–apa?" Mata Yora membulat, mengedip dengan tubuh menegang kaku. Ayahnya, menjualnya pada lelaki ini? Ayah.. Mungkinkah? Apa maksudnya dengan kata membeli?

"Ayahmu telah menjualmu padaku. Dan kau tahu manis apa tujuanku saat ini. Kau sudah menjadi milikku, seluruh yang ada didalam dirimu. Tubuhmu, jiwamu, bahkan hatimu. Semua itu milikku dan hanya aku yang boleh mengaturnya."

"Ti–tidak!" Yora berteriak, mencoba berlari namun kalah cepat saat lelaki itu sudah menangkapnya duluan, mengikat kedua tangannya yang meronta–ronta.

"Lepas! LEPASKAN AKU! AYAHKU TAK MUNGKIN MENJUALKU!" Yora kembali menjerit, menendang–nendang lelaki tersebut meski itu sia–sia. Tangannya terikat, tubuh mungilnya kemudian jatuh terhempas saat Max mendorongnya kasar kearah ranjang, gaun tidurnya tersingkap keatas memperlihatkan seluruh bagian pahanya. max bersiul kecil, membuka kancing kemejanya satu persatu dengan perlahan sambil menjilat bibir bawahnya sensual.

"Kau ingin menangis?" Max tersenyum tipis mendapati Yora mencoba bangkit dengan mata memerah dan tatapan putus asanya. Putus asa, wow. Max sangat suka tatapan itu, lemah.

"Tidak!" Jawab Yora berusaha tegas meski tak dipungkiri jika suaranya tengah bergetar saat ini.

"Bagus, karna aku benci manusia cengeng." Kemeja itu terlepas, memperlihatkan dada bidang kecoklatannya dengan garis–garis otot yang keras serta bisep melengkung yang indah, tubuh itu sempurna.

"Tidak, ku–kumohon jangan."

"Apa kau berhak memohon?" Max mendekat dan Yora kembali berontak saat lelaki itu menindihnya. Air mata telah mengalir membasahi pipinya, Yora menangis, berteriak sambil memikirkan dosa apa yang telah dia perbuat sampai dia diperlakukan seperti ini.

"Siapa yang menyuruhmu menangis hm?" Max mengapit dagu runcing Yora, mengangkatnya tinggi agar kedua matanya bertatapan. Satu mata elang serta satu mata bening yang basah.

"Kau tidak bisa menolak, kau milikku sayang." Max menyeringai, kemudian merobek kasar gaun tidur milik Yora. Mengeluarkan tatapan memuja sepenuhnya pada Yora saat melihat keindahan didepannya, kemudian menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Yora yang beraroma bayi.

"Kau milikku," Bisiknya lirih.

.
.
.

Max mengerutkan dahi saat meneliti berkas dihadapannya, lelaki itu mendongak kemudian mendecih pada lelaki paruh baya yang kini duduk dengan kaku didepannya.

"Ini hasil kerjanya?" Dia membanting map tersebut denga kasar kearah meja, membuat lelaki didepannya terjingkat kaget sebelum berubah menjadi gugupan berdebar saat sang atasan melipat kedua tangannya didepan dada, menatapnya dengan raut tanpa ekspresi serta tatapan kelam yang mampu menguliti kulitmu kapan saja.

"Aku tahu, kau menggunakan uang tersebut Tuan Astan"

"Maafkan saya Tuan," Lelaki bermarga Astan itu membungkuk kecil dengan muka memelas, berharap atasannya itu akan memberikan keringanan meski ekspresi yang sengaja dibuat–buat itu hanya akan membuat Max merasa mual. Dia tidak suka basa–basi, dan dia tidak suka dibantah! Itu mutlak!

"Baiklah," Max menatapnya dengan senyum tipis. "Akan kumaafkan tentu saja," Kemudian senyum tersebut berubah menjadi senyum sinis penuh tekanan.

"Aku punya penawaran,"

"Penawaran?"

"Hutangmu akan kuanggap lunas jika kau menukarkan semua milikmu padaku." Tuan Astan terdiam sejenak mendengar kalimat penuh penekanan tersebut, lelaki tua itu terlihat menimang–nimang sebentar dan tanpa fikir panjang mengiyakan.

"Baik, apapun akan kutukar!"

"Memang apa yang kau punya?" Max menatapnya remeh, seolah lelaki tua didepannya itu hanyalah seujung debu diatas sepatu hitam berkilatnya yang mahal, terlalu nista.

"Rumah, aku punya rumah, satu mobil, dan.." Lelaki tua itu menjeda ucapannya dengan ekspresi ragu yang kentara, membuat Max menaikkan dahinya menunggu.

"Dan?"

"Aku punya toko bunga, itu akan menjadi milikmu." Max tersenyum menganggukkan kepalanya.

"Hanya itu?" Tuan Astan mendongak menatap lelaki berkuasa didepannya dengan dahi mengernyit, menganalisis apakah masih ada barang tersisa yang bisa dia tukarkan pada atasannya tersebut?

"Semua yang kau sebutkan masih belum cukup!"

"Aku punya seorang putri. Dia masih muda dan cantik, kurasa kau akan menyukainya. Kutukar dia sebagai pelunas sisanya." Dahi lelaki berkulit kecoklatan itu bertemu dengan congkak, menatap tak suka pada lelaki didepannya.

"Kau fikir aku ini dapat semudah itu melihat wanita? Pelacur untukku pun harus benar–benar wanita yang memadai pak tua,"

"Putriku masih muda, dia juga cantik dan perawan. Aku yakin kau tidak akan kecewa Tuan Miller" Ucap Tuan Astan meyakinkan, Max memasang pose berfikir yang paling tampan sejenak sebelum tersenyum miring.

"Kau yakin ingin menjualnya?" Max bertanya penuh penekanan dan Tuan Astan mengangguk tanpa fikir panjang, yang penting –dia terbebas dari jerat hutangnya.

"Oke, dan aku tidak peduli bagaimana nantinya aku memperlakukannya, karna kau sudah sah menjualnya padaku."

"Tentu saja, anda bisa memperlakukan dia semau anda."

"Aku akan membuat surat perjanjiannya, dengan itu kau tidak akan bisa menuntut apapun padaku suatu saat nanti."

"Baik Tuan Miller"Max mengangguk mengiyakan, lelaki itu kemudian mengangkat tangannya memberi isyarat agar pak tua tersebut angkat kaki dari ruangannya. Setelah pintu yang ditutup terdengar, ekspresi diwajahnya luntur. Garis tampan diwajahnya mengeras seiring tatapan matanya yang tajam berubah semakin kelam, dan itu terlihat menyeramkan. Dia menatap kepergian lelaki tua itu dengan decihan jijik, merasa bahwa satu orang hina yang bahkan tak pantas masuk kedalam ruangannya itu menjanjikan sesuatu yang tak sebanding dengan dirinya.

.

PrimRose ❤ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang