#01 Korban Pertama

28 5 0
                                    

   "Hei Kak Feli! Jangan habiskan bagianku dong!" Seperti biasa adikku Hendra akan selalu bertengkar dengan Felicia. Entah apapun masalahnya. Mereka selalu beradu mulut.

   "Apa ? Bagianmu ? Kamu sudah ambil bagianmu terlalu banyak tadi." Dan seperti biasa pula Felicia akan menanggapi Hendra dengan gayanya yang menyebalkan itu.

   "Sudahlah Hendra, ini ambil saja punya kakak." Jika bukan Mama, maka aku yang akan menjadi pelerai kegaduhan mereka. Kuletakkan kulit ayam, menu makan malam kami hari ini di piring Hendra.

   "Mama pikir kalian tidak terlalu suka kulit ayam, jadi Mama menyuruh Gilda untuk sedikit saja memasaknya. Besok - besok Mama akan menyuruhnya masak kulit ayam yang banyak." Mama tersenyum ke arah kami.

   "Mama seperti tidak tahu saja. Apapun menu makanannya, mereka selalu seperti ini Ma. Selalu bertengkar." kataku sambil melirik Felicia dan Hendra.

   "Hahaha itu benar! Kak Hendra dan Kak Feli selalu membuat keributan." kata Jimi sembari tertawa melihat Hendra dan Feli yang memasang raut muka masam.

   Sudah menjadi wajib bagi keluarga kami untuk berkumpul dan makan malam setiap harinya. Adik - adikku akan meramaikan meja makan malam. Gelak tawa mereka membuat Papa dan Mama terlihat bahagia. Bisa dikatakan kami hidup mewah saat ini. Orang tuanya Papa dan Mama, kakek dan nenekku, dulunya memang sudah kaya. Sehingga mereka mewariskan kekayaannya pada Papa dan Mama dan juga untuk saudara - saudara mereka. Kata orang - orang, keluarga kami adalah keluarga bahagia yang diidam - idamkan semua orang. Hidup mewah, anak - anak yang cantik dan tampan, banyak pembantu, rumah yang besar.

   Bagiku, tidak perlu hidup mewah dan punya rumah besar untuk menjadi keluarga yang bahagia. Itu sama sekali tidak benar. Yang penting adalah anggota keluarga itu sendiri. Asal mereka bisa tertawa, bahagia, itu sudah cukup.

   Kuakui keluargaku memang bahagia. Tinggal berlima, serta dengan 3 pembantu di rumah yang besar ini, maka itu menjadikan rumah ini tidak terlalu sepi. Aku bukanlah anak pertama, melainkan masih ada satu lagi kakak di atasku. Alisa namanya. Saat melihatnya, pasti orang - orang akan langsung menyebutkan satu kata dalam hati mereka. Cantik. Rambutnya panjang, dan sedikit ikal seperti rambut Papa. Warnanya hitam legam. Matanya bulat, dan bulu matanya lentik. Tetapi sayang mata indah itu lebih sering menatap kosong. Sampai sekarang, aku masih belum bisa memahami Kakak, karena sifatnya yang dari dulu memang tertutup. Tetapi aku tahu, dia adalah Kakak yang baik. Umurnya lebih setahun dari aku yang berumur 16 tahun. Kak Alisa berbeda dengan orang - orang normal lainnya. Kata Papa dan Mama, Kak Alisa memiliki Ochlophobia, fobia terhadap orang banyak atau keramaian. Inilah yang menjadikan Papa memutuskan untuk Kak Alisa agar menjalani homeschooling dengan Adellia, sebagai guru pendamping yang didatangkan ke rumah. Kadang Mama juga menemani Kak Alisa bersama gurunya.

   Sampai saat ini aku masih belum bisa menghilangkan rasa anehku pada Kak Alisa. Bagaimana tidak, auranya begitu misterius. Dia sangat pendiam, tidak banyak bicara. Saat bersamanya pun, hanya aku yang bercerita banyak hal. Dia seperti menciptakan sekat diantara kami.
Kak Alisa... dia begitu cantik, dan misterius.

   Lalu, barulah aku lahir setelah Kak Alisa. Namaku Dianna. Mataku bulat dan besar seperti Kak Alisa. Rambutku panjang dan lurus seperti Mama. Dibandingkan yang lainnya, akulah yang paling dekat dengan Kak Alisa, mungkin karena umur kami yang tidak beda jauh, aku lebih sering menganggapnya sebagai teman dibandingkan Kakak. Kami sering menghabiskan waktu bersama, walau kadang hanya saling berdiam diri, tidak ada yang ingin dibicarakan. Tapi aku nyaman di dekatnya. Kak Alisa juga seorang pendengar yang baik, bahkan dia juga sering mengasih solusi atas masalah - masalahku yang kuceritakan padanya.umur kami yang tak terpaut jauh, maka tak heran orang - orang akan menyangka kami kembar, meskipun Kakakku lebih cantik.

Devil ChildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang