S a t u
Gantari yakin jika selama ini dia telah mengikuti kata-kata mamanya untuk tidak jajan sembarangan, mencuci kaki sebelum tidur, dan membersihkan tangan setelah bermain di luar. Sesekali mungkin ia sempat lupa, ehm bukan sesekali juga karena terkadang dia terlalu malas untuk melakukannya. Tapi tetap saja alasan jorok tetap tidak bisa diterima baginya.
"Maa!! Masa Bang Gama bilang Tari sakit karena Tari orangnya jorok. Gak bener kan, Ma?"
Tangan halus yang sedari tadi menggenggamnya gantian mengelus kepala gadis kecil berumur lima tahun itu. "Memangnya Tari ngerasa kalau Tari jorok?"
Gantari mengelus dagunya sambil mengolah jawaban untuk pertanyaan mama. "Mungkin nggak."
"Kok jawabannya mungkin nggak?" Sang mama tertawa kecil.
Mata Gantari melotot. "Pokoknya Gantari gak jorok. Titik. Bang Gama tuh yang jorok, Tari pernah lihat kalau abis kencing Bang Gama langsung pake celana. Gak dibersihin dulu anunya kayak Tari."
Mata mama kontan ikut melotot mendengar penuturan anaknya. Rasanya dia menyesal selalu meninggalkan anak perempuannya bersama sang kakak sendiri. "Gantari pernah lihat kakak kencing?" Mama bertanya dengan hati-hati.
Gantari mengangguk yakin. "Waktu main di sawah kakek kurus, Abang kencing di Deket pohon mangga. Tari ngelihat dari jauh. Tapi Tari yakin kok, Abang gak cuci cuci dulu kayak Tari. Jorok, kan ma?"
Mama menghela napas lega. Dia kira anak sulungnya telah menampilkan sesuatu yang tidak baik di hadapan putrinya. Yah, meski tetap saja sesampainya di rumah dia masih harus memberikan penjelasan pada si sulung dan adiknya.
Mama tersenyum lembut. "Nggak kok. Anak perempuan mama selalu bersih."
Jawaban mama, membuat Gantari langsung tersenyum pongah. Tuh, kan! Dalam hati dia menyumpahi sang kakak yang sudah berani mengejeknya.
"Tari capek?" Mama bertanya setelah melihat Gantari memijit tempurung lututnya.
Gadis kecil itu mendongak menatap mama dengan ekspresi lelah yang sedikit dibuat-buat. "Capek," keluhnya pada mama.
Mensejajarkan tubuhnya dengan Gantari, mama lalu memperbaiki poni anak gadisnya yang sedikit basah karena keringat. "Mau gendong?"
Gantari mengangguk antusias. "Mau!!"
Maka dengan suara penuh semangat itu, mama membalikkan tubuhnya hingga menampilkan punggung di hadapan Gantari. Tangan mungil itu langsung melingkar di leher mama. Mama berjalan pelan mengikuti alur jalan setapak menuju ke rumah. Jarak dari puskesmas ke rumah tidak terlalu jauh jika di tempuh dengan kendaraan bermotor, tapi tidak untuk berjalan kaki. Jaraknya lumayan mampu meneteskan peluh di dahi dan punggung.
Mama baru saja membawa Gantari ke puskesmas setelah tadi pagi mendapati sang putri kembali demam tinggi. Sebenarnya bukan hal biasa, mengingat sejak berusia tiga tahun Gantari sudah sakit-sakitan. Fisiknya yang lemah membuat bocah kecil itu gampang sekali terkena penyakit.
"Mama. Tari pengen makan bakso."
"Tapi Tari masih sakit, gak boleh makan yang keras-keras."
"Bakso gak keras. Lembek mama. Tari kan gigit baksonya juga," sanggah gadis itu tidak terima.
Mama menghela napas kecil. "Jangan dulu, yah? Kalau sudah sembuh nanti mama belikan."
"Gak mau! Tari mau makan sekarang mama."
Langkah mama tiba-tiba terhenti. Mama lantas berjalan ke arah sebuah toko kelontong dan mendudukkan Gantari di atas dipan yang ada di depan toko.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Went Away
General Fiction*** Apa yang mereka sebut sebagai penyesalan akan datang di waktu yang tidak kita duga. Gantari pikir hidupnya akan terus baik-baik saja. Dengan pemikiran itu ia memutuskan untuk menjalani hidup sesukanya. Mengikuti alur tanpa berpikir untuk memakn...