T i g a
"Bagaimana hari pertamanya di sekolah?"
Wajah cemberut Gantari masih bertahan hingga gadis kecil itu tiba di rumah. Membuat mama yang sibuk melipat pakaian di depan TV bertanya khawatir. "Eh, mukanya kok gitu?"
"Mama!!!"
Bukannya menjawab pertanyaan mama, Gantari malah berlari setelah melepaskan asal sepatunya. Gadis itu menubrukkan tubuhnya ke mama dengan keras, membuat mama yang masih terkejut hampir saja terjengkang ke belakang.
"Eh, eh. Anak mama kenapa?" Mama bertanya khawatir saat mendapati air mata terus mengalir di pipi Gantari disertai dengan isakan keras. Mama terpaksa menghentikan kegiatan melipat pakaiannya karena tangis Gantari tidak kunjung reda.
Gantari mendongak menatap mama. Bibir bawahnya dimajukan hingga membentuk mimik wajah yang lucu. "Tari gak mau sekolah besok. Mau di rumah saja dengan mama."
Kening mama mengerut bingung. Padahal tadi pagi Gantari sangat semangat ingin pergi ke sekolah barunya. Bahkan dari seminggu yang lalu bocah kecil itu sudah mempersiapkan semua perlengkapan yang akan dia gunakan di sekolah dasar. Sampai-sampai membuat mama jadi pusing karena seminggu ini Gantari tidak berhenti merengek untuk membeli banyak benda tidak penting yang katanya dia perlukan untuk masuk Sekolah dasar.
"Kenapa? Sini, cerita sama mama." Mama menepuk pahanya sebagai isyarat agar Gantari duduk di situ. Gadis kecil itu menurut dan langsung menjatuhkan pantatnya ke paha mama.
"Tari gak suka sekolah SD," ucap Gantari lalu menyeka air matanya. "Tari gak mau ke sekolah. Di rumah saja sama mama."
"Kenapa gak suka sayang? Tari kan, sudah sekolah di TK dulu. Waktu sekolah itu gak pernah nangis juga, kan?"
"Waktu itu temen-temen sekolah Tari gak suka ngejek mama. Teman Tari selalu ngajak main perosotan, gak pernah ngejek-ngejek Tari." Tangisan Gantari semakin keras membuat mama langsung memeluknya sambil mengelus punggung Gantari.
"Cup cup cup. Anak mama gak boleh nangis," hibur mama mencoba menenangkan Gantari. "Memangnya teman Tari bilang apa? Kok sampai bikin Tari jadi rewel gini?"
Kepala Gantari menggeleng kuat. Dia tidak setuju disebut rewel. "Tari gak rewel mama. Teman-teman Tari jahat. Mereka ngetawain tari gara-gara Tari lupa nama panjangnya Tari."
Bibir mama berkedut menahan tawa. Jadi karena ini anak gadisnya pulang sambil menangis dan bilang tidak ingin sekolah. "Kenapa Tari bisa lupa? Malam kemarin kan, kita sudah belajar. Tari juga udah tahu nama panjangnya lama kan? Pas di taman kanak-kanak kan, juga udah diajarin."
Gantari menunduk. Jari-jarinya berputar di perut mama, membentuk pola abstrak. "Tari malu tadi. Sampai lupa. Tari baru mau coba inget tapi udah diketawain dulu."
Mama mempererat pelukannya. "Ya udah. Jangan nangis lagi yah. Nanti kita belajar lagi. Mama juga bakal bantu Tari biar gak malu lagi."
Meski masih terisak namun perlahan Gantari mulai merasa baik. "Gantari Permata. Lahir tanggal 12 Mei 1998. Nama mama Andini. Nama ayah Kavian. Tari tahu kok mama. Cuma tadi Tari gugup." Ia melonggarkan pelukan mama. "Kenapa sih mama gak nemenin Tari tadi? Waktu masih TK mama suka nemenin Tari?" protesnya pada mama.
Mama mengelus rambut Gantari. "Terus yang nemenin adik siapa? Kalau mama ikut nganterin Tari ke sekolah yang nemenin adik di rumah siapa dong?"
Ah iya! Gantari hampir lupa jika adik kecilnya masih butuh pengawasan. Seharusnya Gantari tidak boleh manja. Gantari sudah berjanji akan menjaga adik kecil. Tapi dia malah nangis dan minta ditemani oleh mama. Padahal mama juga masih harus beres-beres rumah. Tunggu dulu! Tiba-tiba satu ide melintas di otaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Went Away
General Fiction*** Apa yang mereka sebut sebagai penyesalan akan datang di waktu yang tidak kita duga. Gantari pikir hidupnya akan terus baik-baik saja. Dengan pemikiran itu ia memutuskan untuk menjalani hidup sesukanya. Mengikuti alur tanpa berpikir untuk memakn...