E m p a t
Tidak ada respon yang berarti dari Gebby ketika melihat ayahnya berpakaian rapi serta menyeret dua buah koper keluar rumah. Gadis itu hanya melirik sekilas sebelum mengikat tali sepatunya. Setelahnya Gebby pergi ke sekolah tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya, bahkan untuk sekedar lambaian tangan juga tidak. Seakan-akan tiga makhluk bernyawa yang melihatnya pergi hanya berdiri sebagai pajangan.
Tidak jauh berbeda dengan Gebby, Kavian juga tidak merasa tersinggung atau sedih sedikit pun meski putrinya bersikap tidak sopan lagi padanya. Ketidakpedulian masing-masing di antara mereka memancing mendung hadir melingkupi rumah bertingkat dua dengan gaya minimalis itu dengan suasana dingin.
Tidak ada yang bersuara ketika koper-koper itu telah masuk ke dalam bagasi, tidak ada yang berkomentar ketika mesin mobil dinyalakan. Baru ketika Kavian berjalan menghampiri mereka, tubuh itu bereaksi.
Gantari menghela napas. Dia sendiri masih bertahan dengan setelan tidurnya karena hari ini kuliahnya baru mulai di siang hari. Pagi-pagi sekali harinya telah dimulai dengan satu adegan drama saat ayahnya meminta ketiga anaknya untuk bangun dan berkumpul di ruang tengah. Rupanya Kavian ingin memberi tahu jika hari ini juga dia akan pergi ke Surabaya. Bahkan baru lewat seminggu sejak pengumuman menggemparkannya dulu tapi Kavian seperti sudah tidak sabar meninggalkan rumah ini. Tanpa menunggu waktu lama pria yang bertanggung jawab pada hadirnya mereka di dunia ini sudah ingin pergi saja.
Bisa ditebak bagaimana respon ketiganya saat melihat Kavian sudah rapi dengan dua koper di sebelahnya. Gebby mendengus lantas masuk kembali ke kamarnya setelah menutup pintunya dengan cukup keras hingga Gantari refleks mengusap dada karena kaget. Gaza yang belum sepenuhnya sadar langsung membulatkan mata dan memberondong Kavian dengan banyak pertanyaan yang dijawab pria itu dengan jawaban yang sama seperti yang ia berikan pada Gantari dulu. Selanjutnya adik bungsunya itu langsung menunduk sambil sesekali menyeka air matanya yang jatuh sebelum masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun. Sedang Gantari hanya duduk sambil memperhatikan gerak-gerik ayahnya. Dan gadis itu masih bertahan untuk tetap diam sampai saat ini ketika Kavian berjalan ke arahnya.
"Jangan ganti-ganti nomor handphone. Biar ayah gampang hubungin kalian."
Gantari tetap diam.
Gaza yang sudah siap dengan seragam sekolahnya beringsut mendekati Kavian. "Ayah beneran mau ninggalin kita?"
Kavian tidak langsung menjawab. Pria itu menatap lamat-lamat wajah si bungsu lalu tangannya terangkat untuk mengelus rambut Gaza. Sayangnya, Gaza sudah lebih dahulu menghindar dengan mundur selangkah. Membuat tangan Kavian menggantung di udara. Pria itu mengepalkan tangan lalu menjatuhkannya di sisi tubuh.
"Iya," ucap Kavian singkat. Hanya itu kata yang bisa keluar dari bibirnya. Melihat respon Gaza sedikitnya membuat ayah empat anak itu jadi sedikit segan.
Mata sayu dengan iris coklat milik Gantari membalas tatapan mata Kavian yang kini tertuju ke arahnya.
"Jaga adik-adik kamu."
"Pasti. Mereka sekarang tanggung jawab aku," ujar Gantari tegas. Dari kalimatnya tadi dia ingin memperlihatkan pada Kavian bahwa dia akan menyesal karena telah meninggalkan mereka.
"Ayah tidak perlu memikirkan kami. Selangkah kaki ayah keluar dari rumah ini, selangkah juga jarak yang ayah buat dari kami. Gak usah mikirin kami kalau ayah masih tetap bersikukuh dengan pilihan ayah. Dengan ayah yang memutuskan untuk pergi itu artinya ayah sudah memilih untuk melepaskan anak-anak ayah," lanjutnya.
Seraut wajah menyesal tidak terlihat sedikit pun di wajah Kavian. Atau memang pria itu yang pandai dalam memasang poker face sehingga Gantari tidak mampu menebak bagaimana perasaan sang ayah dari raut wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day You Went Away
General Fiction*** Apa yang mereka sebut sebagai penyesalan akan datang di waktu yang tidak kita duga. Gantari pikir hidupnya akan terus baik-baik saja. Dengan pemikiran itu ia memutuskan untuk menjalani hidup sesukanya. Mengikuti alur tanpa berpikir untuk memakn...