Part 17 (Kalya)

8.2K 393 12
                                    


Tubuhku kembali terpental ketika mencoba memasuki pintu gua. Ingin rasanya menjerit keras, memaki atau memusnahkan gua ini. Namun, di dalam sana ada anak dan menantuku. Terlebih, Kania tengah mengandung anak yang sedang kunantikan kelahirannya.

“Apa yang harus kulakukan?”

Kutatap tajam pintu gua yang telah disegel itu. Rindi benar-benar menyalahi perjanjian. Jika dia menyalahi perjanjian itu, jangan salahkan aku yang akan berbuat nekat. Rindi, Nyai Wangsih di depan sang Ratu masih dapatkah kalian berkutik?

“Baiklah, jika kalian memilih jalan ini,” sahutku mendesis.

Kukeluarkan kalung berliontin kristal merah dari kantong jubah. Liontin itu bersinar terang, sedikit bergetar karena merasakan aura yang dikenalnya. Kutatap kembali pintu gua itu dengan sinis. Liontin kristal itu semakin bergetar.

“Aku tahu. Hanya kau yang dapat membantuku, Yang Mulia Candaka,” suaraku berbisik lirih. Lalu setelah getaran beberapa kali, cahaya merah keperakan keluar dari kristal tersebut, melesat cepat memasuki gua. Segel pelindung pintu hancur seketika.

“Berani melawan Kalya, kalian layak hancur.” Kuhentakan kaki lalu cepat memasuki gua tersebut.

Sayup-sayup kudengar geraman dan raungan roh-roh gelap. Gua ini benar-benar harus dihancurkan. Dari setiap sisi saja terlihat tempat ini biasa untuk pemujaan. Baiklah, setelah urusanku selesai. Gua ini juga harus lenyap.

Menelusuri lorong gelap yang berkelok-kelok. Hawa negatif semakin pekat. Rintihan arwah-arwah korban tumbal, menggapai-gapai meminta pertolongan. Tepat tiba pada tikungan yang kesekian, aku mendengar jeritan Romi.

Netraku membelalak. Dengan rasa hati tak keruan, aku berlari. Menerobos arwah-arwah yang menghadang. Tak peduli jeritan mereka yang disertai panas api membakar ketika bersentuhan dengan pakaianku.

Ya. Aku kemari dengan persiapan. Pakaianku penuh bubuhan ramuan yang dapat mengakibatkan roh-roh tak berani mendekatiku. Jika mendekat, konsekuensi mereka akan terbakar. Sungguh, aku benci roh-roh gelap. Dari dulu hingga sekarang, bau mereka selalu busuk.

Langkahku berhenti ketika memasuki ruangan. Tubuh bergetar, sama halnya dengan hati. Melihat pemandangan di depan dengan tatapan tak percaya.

Suara tebasan demi tebasan disertai jeritan menyayat pilu, berkumandang di seantero ruangan dingin ini. Mataku berkaca-kaca menatap sosok itu. Sosok gadis berjubah merah dengan rambut keperakan yang menghilang bertahun-tahun lalu .

Kibasan jubah merah membuat para roh gelap terdesak, membentur dinding lalu disusul jeritan. Tak sampai di situ. Sosok berjubah merah itu melayang dan melemparkan puluhan anak panah yang mengejar puluhan setan-setan yang hendak kabur.

Lengking jeritan kuntilanak bersahut-sahutan sebelum api membakar. Namun, kuntilanak jenis rakesa tak kenal menyerah. Mereka menyerang bersamaan. Berniat mencakar dengan kuku-kuku panjangnya yang menjijikan itu.

Tak sadar air mataku menggenang.

“Jika kau ke sini hanya untuk diam, sebaiknya kau pergi, Kalya!” sahutnya sebelum kembali menyerang kuntilanak di depannya.

Aku tergugu. Suara itu masih sama dengan yang dulu.

“Kalya!” ucapnya lagi. Aku mengerjap.

“Anakmu, dia hampir sekarat!” teriaknya di sela-sela jeritan para kuntilanak.

Aku membelalak lalu mengedarkan pandangan hingga menemukan Kania yang tergeletak di tanah. Kusongsong tubuh jelita yang kini kuyu itu. Seakan kematian hampir merenggutnya.

“Kania,” panggilku lirih. Kutepuk-tepuk pipinya. Memeriksa denyut nadi. Lalu ketika denyut itu masih terasa, aku langsung mengeluarkan botol ramuan berwarna kehitaman.

Pelet Nyai WangsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang