Part 13 (Rindi)

9.9K 369 10
                                    

Gurat kecemasan terlihat di wajah cantik Menik ketika aku menjelaskan tentang rencana menjebak Kalya. Meski terlihat mengontrol emosinya, tapi sangat jelas terlihat bahasa tubuh gadis itu resah. Apa sekarang? Apa dia mulai menyerah dan menjauhiku? Apa dia pikir bisa semudah itu lepas dari lingkaran yang telah kubuat?

Menik. Kau masih tetap sebodoh dulu.

"Apa memang Mas Romi ada di tangan ibunya Kania?" tanyanya dengan sangsi.

Aku mengetukan jari pada setir, sebelum menyunggingkan senyum lalu menoleh menatapnya.

"Kau akan lihat nanti."

"Bukankah lebih baik kita langsung ke tempat di mana Mas Romi disembunyikan?"

Aku terkekeh mendengar pendapatnya kemudian menggelengkan kepala tanda geli akan ucapannya.

"Aku akan memaksa dia menyerahkan Romi dengan tangannya sendiri," ucapku dengan senyum sinis.

Dari sudut mata, kulihat Menik bersedekap menahan gigilan tubuhnya. Tak dapat ditutupi tubuh yang gemetar ketakutan itu sangat enak dilihat. Melihat ketakutan pada setiap orang adalah hal yang membahagiakan.

"Tapi ... kita tak perlu mencelakainya kan?" Takut-takut suara Menik memelan.

Aku mencengkeram setir dengan erat. Tak perlu mencelakai katanya? Huh! Jika aku tak mencelakainya, dia yang akan mencelakai kami. Dasar manusia tolol.

"Aku tak akan mencelakainya, aku hanya ingin bermain dengannya," sahutku santai. Menik terlihat semakin gemetar.

"Rindi, apa tidak sebaiknya kita sudahi semua ini?" Pertanyaan konyol dari menik membuatku tertawa.

Melihat tawaku yang kesetanan, Menik beringsut duduk semakin merapatkan diri ke tepi pintu mobil. Namun, ia sendiri harus memejamkan mata. Karena dari luar kaca kuntilanak tanpa wajah menampakan diri menempel pada kaca mobil. Kuakui Menik hebat karena tidak sampai berteriak histeris. Gadis itu hanya mengigil ketakutan sambil menggigit bibirnya erat-erat.

***

Laju mobil melambat, kemudian berhenti saat kami tiba di depan rumah Romi. Rumah tersebut diselimuti aura hitam, gelap dan suram. Sama halnya rumah Romi, rumah sekitarnya pun seperti tak ada tanda-tanda kehidupan.

Senyumku tersungging indah saat kurasakan aura Nyai Wangsih. Berbeda denganku, Menik terlihat membelalakan mata. Entah itu takut atau kaget. Pasalnya, awan hitam yang membuat gulita desa ini membuat suasana terasa mencekam. Ditambah tak ada penerangan lampu dari rumah penduduk. Seakan sebuah desa mati, rasa senyap akan membuat bulu kuduk berdiri.

"Apa yang terjadi?" sahutnya sambil keluar dari mobil.

"Inilah kehebatan Nyai Wangsih. Dia bisa membuat satu desa mengilang dalam sekejap."

"Apa? Tapi ... kenapa? apa salah penduduk desa?" Menik bahkan melupakan rasa takutnya. Dia berani menatapku.

"Kau bilang apa salah mereka? Kau lupa mereka menertawakanmu ketika kau datang ke pesta pernikahan Romi? Kau juga lupa hari di mana Romi memboyong istrinya menempati rumah itu dan mereka menggunjingmu?" Aku berkata dengan keras sambil berkacak pinggang.

Menik menggeleng-gelengkan kepalanya. Semburat air mata terlihat di pelupuk matanya. "Aku tak pernah dendam pada mereka, Rin!"

Garis bibirku terangkat membentuk senyum mengejek. "Kau bodoh."

"Rindi, apa yang kita lakukan sekarang sudah terlalu salah. Sudahi ini dan ... aarrrgghh!"

Menik menjerit. Dapat kulihat rasa sakit di matanya. Ia meringis sambil memegangi kepala. Jerit teriakannya menjadi musik indah di telinga ini. Tangan Menik menggapai-gapai ke arahku, tapi aku tak sedikit pun berniat membantunya.

Pelet Nyai WangsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang