Part 14 (Rindi)

8.8K 357 4
                                    

Aku menyeret Menik menuju mobil lalu setengah memaksanya masuk. Tubuhnya gemetar ketakutan, tapi aku tak peduli. Ia harus membantuku melaksanakan semua rencana yang sudah kususun lama.

Mobil kami melaju ke jalan desa yang terlihat kosong. Seperti tak ada kehidupan manusia satu pun. Gelap dan suram, begitulah suasana desa ini. Hanya tinggal selangkah lagi, dan semua kebencian ini akan terbayar.

"Ki, kita mau ke mana?" Menik bertanya dengan takut-takut.

"Menuju rumah orangtua Romi."

"Untuk apa?"

"Menjemput mereka," sahutku sambil tersenyum sinis.

"Tapi ...."

"Kau hanya perlu mengikutiku, Nik. Jangan tanyakan apa pun." Suaraku berubah serak. Ya tentu saja, aku tengah lemah sekarang. Namun, aku harus menculik dua orang itu. Mereka adalah bagian dari dendamku selama ini.

Menik menurut. Ia akhirnya diam meski gelisah terbayang dalam wajahnya.

Mobil akhirnya sampai di depan rumah orangtua Romi. Suasana gelap membuat rumah terbesar sedesa itu terlihat sungil. Tak ada lampu listrik yang menyala. Sisi-sisi rumah yang masih rimbun oleh pepohonan semakin membuat suasana rumah itu menakutkan.

Namun, aku tak peduli. Dengan mudah kumasuki gerbang rumah itu dengan diikuti Menik. Wanita itu tetntu akan takut jika sendirian di mobil. Mau tak mau dia akan ikut bersamaku.

Pintu rumah tak terkunci, aku masuk dengan santai. Dari ruang tamu aku langsung mengarah ke kamar terdekat.

Cklek!

Pintu membuka dengan sendirinya. Pencahayaan di dalam kamar temaram. Namun, aku masih melihat jelas, bagaimana kondisi di dalam sana.

Bu Rahma tengah menggigil ketakutan dengan rambut yang acak-acakan. Tak jauh di depannya, tubuh tua sang suami terkapar bersimbah darah. Dadanya terbelah lebar.

Ibu kandung Romi itu tak menyadari kami. Bahkan mungkin tak akan pernah menyadarai kedatangan siapa pun. Mulutnya komat kamit dengan suara tak karuan. Dan ketika tubuh suaminya kembali bergetar ia menjerit histeris. Merapat ke tembok sambil menarik-narik rambutnya.

Aku terkekeh.

Tubuh Pak Husen bergetar beberapa kali. Dari dadanya yang terbelah. Muncul dua tangan kecil dengan kuku-kuku panjang. Darah kembali tercecer ketika rambut dari kepala makhluk menyeramkan itu keluar dari tubuh ayah kandung Romi itu.

"AAARGGGHH!" itu jeritan Menik. Wanita itu jatuh terduduk, ketika makhluk mengerikan itu keluar dari dada Pak Husen. Berlumuran darah, bertaring tajam, serta suara mendesis.

Tubuh makhluk itu kecil. Berjalan dengan menyeret kaki, sambil memlototkan mata. Rambut hitamnya panjang berlumuran darah. Ia menghampiri Menik yang kini semakin berteriak.

Taring kecil tapi tajam terlihat jelas ketika ia menyeringai. Menik semakin menjerit ketika makhluk yang disebut kerangge itu melompat lalu hinggap di pundaknya. Jeritan menik bersahut-sahutan dengan desisan kerangge. Makhluk itu melotot lalu menjilati wajah Menik.

"AAARRGGGH! Pergi! pergi!" Menik berusaha mendorong makhluk itu. Namun, layaknya sebuah baja, kerangge bergeming dan semakin mencengkeram bahu Menik.

"Dia bukan salah satu tumbal. Pergilah!" ucapku dengan suara serak.

Kerangge itu menoleh padaku. Lalu ketika menatap mataku, ia langsung menghilang. Meninggalkan Menik yang gemetar dengan wajah pucat bersimbah air mata.

Selaksa teror terlihat berkabut di matanya. Aku mendekat lalu mengelus kepala sahabatku itu. Menik berangsur-angsur membaik, kemudian menatapku bingung.

Pelet Nyai WangsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang