"Ndo, aku ingin bicara denganmu..." suara lembut dan lirih itu membuatku mendongak dari balik meja kerja tempatku duduk untuk melihat pemiliknya. Yang sungguh tak biasanya datang ke kantorku seperti ini.
Aku tak merespon, hanya menatapnya sedingin mungkin. Ya, beginilah aku bersikap padanya sekarang. Bahkan sudah dua bulan waktu berlalu sejak kejadian itu, dan sampai kini aku masih tak mampu mengendalikan hasratku jika menatap mata indahnya itu. Dia menjadi seperti magnet bagiku. Magnet yang berbahaya. Sangat berbahaya.
"Silakan," jawabku datar. Sedatar mungkin.
Dia menatapku seolah banyak hal yang mengganggu di dalam kepalanya. Tampak berpikir mengenai apa yang akan diungkapkannya.
"Berdua," balasnya setelah beberapa detik.
Aku menatapnya tajam, seakan tatapanku mampu membunuhnya. Tapi, aku lebih berharap tatapan ini mampu membunuh perasaanku padanya. Perasaan yang rasanya semakin tak terkendali.
"Apapun yang ingin kau katakan, katakan sekarang. Atau tidak usah sama sekali," jawabku sedingin mungkin. Lagi. Kuabaikan Stefan yang bergerak gelisah di sisiku dan tampak sibuk memandangi istriku juga.
Lama wanita itu tampak berpikir, membuat wajah cantiknya sedikit mengerut dengan semua pikiran di dalam kepalanya. Kulihat dia menatap Stefan seolah meminta pengertiannya agar pergi meninggalkan kami berdua. Tidak, aku tidak siap hanya berduaan dengan wanita itu! Awas kau, Stefan!
"Pak..." kudengar suara gumaman Stefan yang sudah melirikku dengan takut-takut.
"Tetap di situ, Fan!" potongku tegas tanpa mengalihkan pandangan tajamku dari Lavia.
"Tapi, pak... Ibu Lavia..." gagap pria itu.
Aku mendelik pada Stefan. Awas saja kau berani meninggalkanku! Bersiaplah untuk kehilangan pekerjaanmu! Dan baguslah karena Stefan benar-benar menutup mulutnya rapat-rapat dan menunduk takut. Kurasa auraku benar-benar hebat. Bahkan tanpa perlu mengatakan apapun, pria itu memahami ancamanku.
Kulihat akhirnya Lavia menghela napas dan mulai berbicara dengan suara yang terdengar lirih, "Baiklah, jika itu yang kamu mau..."
Dia maju dua langkah, menyisakan jarak sekitar satu meter antara dirinya dengan meja kerjaku. Aku masih menatapnya tajam, mencoba tak bergeming dengan segala kata dan tingkahnya. Meskipun aku juga penasaran tentang masalah apa sebenarnya yang ingin dibicarakannya.
Tapi, sudah pasti hanya satu hal yang akan dibahasnya, kan? Bercerai. Ya, kan? Bahkan sudah dua bulan aku mengabaikannya setelah malam itu. Tentu sekarang dia akan meminta cerai, kan? Dan aku akan butuh Stefan di sisiku untuk menghiburku nanti dengan keluguan dan kelucuannya yang tersembunyi.
"Aku tahu kau tidak mencintaiku... Aku tahu kau menikahiku karena aku yang memaksamu, Ando..." dia berhenti sejenak lalu menarik napas panjang.
Aku menahan napas sejenak, mempersiapkan diri untuk apa yang akan kudengar. Dan kuhembuskan napasku perlahan.
"Aku tahu kau bahkan enggan melihatku saat ini. Dan mungkin kau lebih senang menginap entah dimana, daripada di apartemenmu karena ada aku yang tinggal di sana. Tapi, bagaimanapun aku ini adalah istrimu yang resmi, Ndo... Istri sahmu. Sebelumnya aku nggak berpikir akan melakukan ini... Memohon padamu... Tapi, sesekali pulanglah, Orlando.
"Sesuatu... Sesuatu... yang kamu perbuat telah mengubahku..." ujarnya pelan. Kulihat dia memejamkan mata sejenak lalu kembali menatapku.
"Aku tidak sama lagi, Ndo..." ucapnya lagi.
Entahlah apa sebenarnya yang sedang dibicarakannya. Kenapa ini sama sekali tak terdengar seperti perceraian?
"Tinggallah di apartemen bersamaku, Orlando. Bersama kami. Dan cobalah penuhi kebutuhan kami..." lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Destiny [Repost]
Storie d'amoreMungkin takdir yang membuatku harus menikah dengan sahabat abangku sendiri, meskipun tanpa cinta di antara kami. Apakah ini akan menjadi sebuah takdir yang pahit, atau malah takdir termanis yang pernah terjadi padaku? (Orlando Diwangkara) Copyright...