Aku terbangun dari tidurku dan menemukan sisi ranjangku sudah kosong. Aroma mentega yang sedang dipanaskan menyelinap ke dalam hidungku, memicu rasa lapar pada perutku yang sejak kemarin siang tak disapa apapun. Aku melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju dapur. Senyuman tak mampu kutahan saat pemandangan indah di dapur menyapa mataku. Dia, sosok malaikat cantik yang mengenakan celemek dan sedang asyik dengan spatulanya.
"Selamat pagi..." sapaku.
Lavia menoleh dan tampak terkejut melihatku. Mungkin dia masih harus membiasakan diri dengan keramahanku. Yang berbanding terbalik dengan sikap dinginku selama dua bulan ini. Kemudian, perlahan dia mulai tersenyum ragu padaku.
"Kamu udah bangun... Tunggu sebentar, nasi gorengnya sebentar lagi matang... Kopimu-" tergelagap dia bergerak hendak membuatkan kopi untukku dan meninggalkan nasi goreng di dalam wajannya.
Tapi aku segera menghadang langkahnya. "Lanjutkan memasak. Aku akan membuat kopiku sendiri..." ucapku. Aku tersenyum padanya, lalu mengecup pipinya sejenak. Dan kulihat rona merah jambu yang selalu kusukai kembali menghiasi wajahnya, yang membuat senyumku semakin lebar.
Tahukah kalian? Ini pagi yang luar biasa!
Senyuman tak lepas dari wajahku, saat aku menyibukkan diri dengan secangkir kopi di hadapanku. Mataku tak lepas memandangi setiap gerak-gerik istriku itu. Tuhan, aku punya istri yang cantik, dan, ehem... menggairahkan. Astaga, ini masih pagi, kan? Apa yang baru saja kupikirkan?
"Kamu nggak makan?" tanya Lavia yang ternyata sudah duduk tepat di hadapanku.
Bahkan aku tak menyadari bahwa dia sudah selesai memasak. Nasi goreng pun sudah terhidang di depan wajahku tanpa kusadari. Aku mengangguk antusias dan mulai makan. Enak! Sangat enak! Entah ini efek lapar, atau efek bahagia, atau karena nasi gorengnya memang enak. Yang jelas aku segera makan dengan lahap.
Aku terlalu bersemangat mengunyah sampai-sampai tersedak, dan meninggalkan rasa yang cukup menyakitkan di tenggorokanku.
Lavia dengan sigap menepuk-nepuk punggungku pelan sementara aku terbatuk menyakitkan. Kemudian ia menyodorkan air mineral ke mulutku. Perlahan aku meneguk air mineral itu, dan syukurlah semua rasa sakit itu sirna.
Oke, sabar! Hari tak akan cepat berlalu! Tak perlu makan dengan terburu-buru! Aku punya banyak waktu.
"Makasih, La..." gumamku setelah dia kembali ke kursinya, dan melanjutkan sarapannya. Begitu juga aku.
Lavia mengangguk dan tersenyum. Kenapa dia harus begitu sering tersenyum? Senyuman yang terlalu sering membuat dadaku terlalu sesak. Hahh!
Kami selesai sarapan, dan Lavia mulai bergerak mencuci piring kotor. Aku berdiri di sisinya dan membantu mengelap piring yang baru selesai dicuci untuk kemudian di tata kembali ke dalam rak.
"Aku bisa sendiri, Ndo..." ucap wanita itu, seolah berusaha mengusirku menjauh dari dapur.
"Nggak papa, La. Izinkan aku membantu," balasku.
"Ndo, kamu bisa duduk dan membaca koran pagimu saja..." ucapnya lagi.
Sepertinya dia sudah hafal aktivitas pagi liburku, ya? Duduk ngopi dan membaca koran. Tapi koran pagi rasanya tak cukup menarik hari ini. Aku lebih tertarik untuk membaca hati istriku.
"La..." aku membuka pembicaraan ketika ia masih asyik membereskan beberapa kekacauan yang dibuatnya di dapur.
Dia mendongak. Mungkin dia bingung juga karena sedari tadi aku terus membayanginya kesana-kemari. Tapi sungguh aku butuh penjelasan. Seharusnya dia juga tau itu, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweetest Destiny [Repost]
Storie d'amoreMungkin takdir yang membuatku harus menikah dengan sahabat abangku sendiri, meskipun tanpa cinta di antara kami. Apakah ini akan menjadi sebuah takdir yang pahit, atau malah takdir termanis yang pernah terjadi padaku? (Orlando Diwangkara) Copyright...