3

18 1 1
                                    

"Kunci dari sebuah pernikahan bukanlah soal mencari pasangan yang tepat, tapi menjadi pasangan yang tepat."











Aku butuh waktu untuk mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi saat ini. Bagaimana aku bisa berada di tempat ini dan bersama orang ini. Harus kuakui bahwa aku tidak pernah menyangka bahwa ia akan mengajakku untuk keluar makan malam seperti ini tapi aku lebih terkejut lagi saat aku mengiyakan ajakannya bahkan sebelum aku sempat berpikir jernih. Mungkin aku terlalu terkejut saat menerima telepon darinya dan menerima ajakannya, atau bisa jadi aku terlalu lelah dan sangat lapar sehingga tanpa sadar aku tidak bisa menolak tawaran makan malam gratis.

Kami berdua duduk berhadapan. Sebuah meja kecil standar restoran keluarga membatasi duduk kami berdua. Tatapan matanya sejak tadi tertuju ke balik jendela kaca besar di sebelah kami yang membatasi kami dengan dunia luar seolah-olah mobil-mobil dan orang-orang yang melintas di luar sana sangat menarik baginya untuk diamati. Aku sendiri mencoba menyibukan diri dengan telepon selulerku—aku kecewa saat tidak menemukan apapun yang menarik di facebook jadi aku mencoba berselancar mencari artikel-artikel menarik—apapun itu—yang bisa menyibukanku. Aku menolak untuk memulai percakapan dengannya meskipun harus kuakui, keadaan menjadi semakin canggung dengan kami saling mendiamkan seperti ini. Biasanya kami akan saling berteriak dan berusaha menggigit sampai putus leher masing-masing. Diam seperti ini jauh lebih buruk dibandingkan harus bertengkar dan saling berteriak.

Oh tapi mungkin memang lebih baik kalau kami berdua diam, karena kalau kami bicara maka besar kemungkinan kami akan bertengkar. Kami memang seperti itu. Hal sekecil apapun bisa menjadi pemicu pertengkaran di antara kami. Padahal kalau kuingat-ingat dulu kami tidak pernah seperti ini, bahkan pada satu titik kami pernah menjadi sahabat dekat yang selalu menghabiskan waktu bersama.

Di atas meja di antara kami ada segelas jus jeruk dingin punyaku dan secangkir kopi miliknya. Kami sama-sama belum menyentuh minuman kami masing-masing. Sebelah tanganku mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan berwarna ungu, menimbulkan bunyi yang kusukai saat es batu di dalam minumanku beradu dan membentur dinding gelas.

Kalau orang lain melihat kami yang hanya duduk diam tanpa saling bicara, bahkan tanpa saling menatap, selama menunggu pesanan, mungkin mereka akan mengira kami sebagai sepasang kekasih yang tengah bertengkar—atau mungkin sepasang suami istri yang tengah bertemu untuk membahas perceraian dan hak asuh anak. Namun bila salah satu dari kami memulai pembicaraan dan kemudian memancing pertengkaran di antara kami... Dari cara kami bertengkar, maka besar kemungkinan orang-orang akan mengira kami pasangan suami istri yang sudah lama menikah.

Aku menghela napas dan mengerutkan dahiku saat lampu kecil indikator ponselku berkedip-kedip warna merah menandakan sisa baterai tinggal dua puluh persen. Aku pun mematikan ponselku dan memasukannya kembali ke saku jaket yang kukenakan. Aku hanya mengenakan kaos tipis dibalik jaket ini jadi aku tidak membuka jaketku meski kami berada di dalam ruangan. Aku tidak sempat berdandan saat meninggalkan rumah tadi, aku terlalu terkejut dengan ajakannya untuk dapat berpikir dengan jernih. Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada hal lain yang ada di ruangan itu. Tidak mudah, karena tidak ada hal menarik di ruangan itu.

Diam-diam aku mengalihkan pandanganku pada pria yang duduk di hadapanku itu. Dagunya bertumpu pada sebelah tangannya, tatapannya masih terfokus pada jalanan di luar sana. Mata hijaunya yang cemerlang terlihat sedikit lebih terang malam ini. Rambutnya yang berwarna coklat gelap nampak sedikit berantakan meskipun pagi ini sebelum berangkat kerja ia telah merapikannya. Dari sisi ini, wajahnya tampak lebih dewasa. Entah sejak kapan, anak laki-laki cengeng yang tinggal di sebelah rumahku itu tumbuh menjadi pria dewasa yang... Uh, tampan?

Dibandingkan dengan Daniel yang tenang dan dingin, tentu saja Ed tidak ada apa-apanya. Daniel, bagaimana pun, adalah pria idamanku. Sayangnya aku tidak bisa menikah dengannya.

Bittersweet MarriageWhere stories live. Discover now