Bagian 2: First day

133 31 14
                                    

*Happy reading*

Spanduk yang di pampang besar-besar di tengah lapangan dengan empat laki-laki berjas merah, membuat kantukku seketika hilang. Gambar gunung dan pemandangan yang terlihat nyata membuatku tertarik untuk bergabung dengan eskul yang satu itu. Setelah belasan eskul mempertontonkan demo mereka masing-masing, hanya ini yang dapat memikat perhatianku di hari pertama sekolah. Eskul pecinta alam.

BAPALA.

Barisan Pecinta Alam.

Seorang laki-laki berjas merah yang paling tinggi memutar lapangan sambil membagikan formulir. Aku yang kebetulan duduk di barisan paling belakang, mencoba berlari agar dapat salah satu formulir gratis itu. Sayangnya, rok span sialan yang baru ku kenakan hari ini membuat aku kesusahan berlari hingga akhirnya terjatuh dengan posisi tengkurap di barisan tengah. Membuat hampir seisi lapangan menoleh ke arahku, mulai terdengar beberapa cekikikan dan tawa yang menggema. Tapi, tidak sedikit juga yang merasa iba.

Aku tidak berani mengangkat pandanganku. Aku hanya menunduk sambil mencoba untuk duduk. Tiba-tiba ada lengan yang membantuku untuk berdiri.

"Kita ke UKS ya"

Aku menoleh, menatap perempuan cantik di sebelahku. Ia tersenyum masih sambil membantuku berdiri. Sepanjang perjalanan menuju UKS, aku menunduk saja, malu. Dan, untungnya UKS berada tidak jauh dari kami.

Sesampainya di UKS, ia membantuku membersihkan luka sebelum anggota PMR datang.

"Sebenarnya aku agak takut sih sama darah, cuma ngga papa deh" katanya masih sambil tersenyum.

"Maaf ya merepotkan, dan terima kasih," kataku tidak enak.

"Iya tidak apa-apa, kembali kasih"

"Namaku, Raisa. Kamu?"

***

Karena insiden jatuh tadi, rok bagian depanku tepat di dengkul sebelah kanan, sobek. Setiap berjalan, aku harus melipatnya menggunakan tangan, agar dengkulku yang kini lecet tidak terlihat. Dan, aku selalu menunduk takut-takut ada yang mengenaliku dan menertawakanku karena hal memalukan tadi.

Saat ini, aku sedang berjalan menuju aula untuk mendapat formulir baru eskul Bapala. Sudah terlihat, beberapa senior berjas merah yang berjaga di meja stan Bapala, dan beberapa siswa-siswi kelas sepuluh baru yang ingin mendaftar di eskul ini juga sepertiku.

Sesampainya di aula, aku harus mengantre. Tidak terlalu panjang, namun cukup melelahkan untuk menunggu.

2 antrean lagi.

1 antrean lagi.

Dan akhirnya, giliranku.

"Terima kasih, kak" kata ku sambil mengambil formulir.

Ku lihat badge nama di jas merah nya itu. Rama Muzakir. Nama yang bagus.

"Jangan panggil kak, panggil saja Mas Rama" katanya sambil tersenyum.

Aku mengangguk lalu ikut tersenyum. Ku tebak, pasti ia adalah ketua Bapala. Karena, ia terlihat lebih aktif dibanding anggota lainnya.

Setelah, mengisi formulir aku kembalikan lagi kepada Mas Rama. Lalu, seorang perempuan dengan rambut dikucir kuda berjalan ke depan membuat semua pasang mata melihat ke arahnya.

"Untuk calon anggota baru, diperkenankan hadir dalam kumpul pertama Bapala. Siang ini, di Markas Bapala. Sepulang sekolah," ucapnya tegas dan menginterupsi.

***

Sepulang sekolah, tanpa teman. Aku bergegas menuju Markas Bapala yang katanya di sebut 'MB'. Aku mengetuk pintu beberapa kali sebelum masuk, setelah pintu dibuka rupanya sudah ada beberapa yang datang. Aku memilih duduk di bangku bagian paling depan, di tengah ruangan karena bangku tersebut masih kosong.

Sambil menunggu kegiatan ini dimulai, aku memilih mendengarkan musik hingga seseorang disebelahku menepuk pundakku.

"Kamu bawa pulpen?" Tanyanya.

"Astaga, Lea?" Ucapku senang.

Leadry Ashilla, perempuan cantik yang tadi telah menyelamatkanku dari rasa malu akibat insiden memalukan itu. Tidak ku sangka, Lea juga tertarik dengan Bapala.

"Selamat siang,"

Suara berat dari depan membuat semua obrolan berhenti dan hanya fokus mendengar.

"Perkenalkan nama saya, Rama Muzakir. Saya adalah ketua Bapala tahun ajaran ini. Panggil saja, Mas Rama, sebelum masuk ke pengenalan Bapala. Saya ingin mengenal kalian terlebih dahulu. Kita akan mengadakan sesi perkenalan, dimulai dari ujung sebelah kiri. Silahkan,"

"Perkenalkan nama saya, Alan Yudhistira. Panggil saja, Alan" kata laki-laki pertama.

Mas Rama menyela, "Oh iya, sebutkan juga apa alasan kamu masuk ke Bapala,"

"Alasan saya, saya ingin jalan-jalan dan bisa naik gunung."

Sumpah, itu alasan ternaif masuk eskul yang pernah aku dengar. Dan benar, semua yang ada di ruangan tertawa mendengar alasannya. Termasuk para senior, sampai mengelilingi meja laki-laki tadi sambil tertawa. Dan itu membuatku tidak dapat melihat wajah Alan, padahal aku penasaran sekali dengan laki-laki lugu itu.

Setelah Alan, perkenalan berlanjut dengan meriah. Hingga perkenalan selesai, Mas Rama kembali berbicara didepan.

"Kami butuh formulir dari kalian sekali lagi, dan yang paling penting adalah izin dari orang tua dan tes kesehatan. Karena Bapala akan sering berpergian ke tempat-tempat yang butuh tenaga ekstra dan izin dari orang tua. Bahkan, kita bisa pergi ke luar provinsi. Jadi, saya tunggu izin dan hasil tes itu, sampai 3 hari lagi, yang dapat mengumpulkan kalian bergabung dalam Bapala dan yang tidak, maaf sekali, kalian tidak dapat bergabung dengan kami."

***

Ini sih yang sulit. Bagaimana caranya aku agar mendapat izin dari ayah dan bunda untuk mengikuti eskul Bapala. Apa yang harus ku katakan supaya mereka dapat mengizinkan dengan mudah?

"Bun, aku mau ikut eskul bun di sekolah, tapi harus ada izin dari orang tua. Di izinin kan bun?" Tanyaku sambil menarik pelan baju belakang yang dikenakan bunda.

Bunda yang tengah memasak untuk hidangan makan malam, menoleh. "Eskul apa?"

"Bapala bun"

"Kaya lagu nya Judika"

"Hah? Emang ada?"

"Ada yang gini loh
Kamu segalanya..
Tak terpisah oleh waktu
Biarkan bumi menolak ku tetap cinta kamu.."

Aku menepuk jidat. "Itu Mapala bun, Ma-pa-la."

Bunda tersenyum. "Iya, bunda bercanda. Emang Bapala itu eskul apa?"

"Pecinta alam,"

"APA?!"

Bunda terdengar begitu terkejut mendengar jawabanku. Sebenarnya aku sih yang terkejut dengan reaksi berlebihan bunda. Coba saja kamu bayangkan, di dapur saat malam hari seperti ini. Ibumu berteriak seperti tadi dan seakan ada kamera yang menyorot tepat didepan wajahnya seperti adegan dalam sinetron saat tokoh antagonis sedang naik darah.

"Kenapa bun? Ngga boleh ya?" Aku bertanya takut-takut bunda langsung tidak memberikan izin.

Bunda mengatur ekspresinya lalu tersenyum lagi. "Bunda sih, boleh aja. Coba tanya sama ayah,"

"Terus tadi bunda kenapa kaget gitu?"

"Oh tadi, lagi latihan akting aja sih. Cocok juga kayanya bunda jadi artis kaya Meriam Belina"

Ya ampun bunda, untung ibu kandung.

***

Terimakasih sudah mau membaca ASA, semoga tetap bertahan hingga akhir cerita ya!

Jadilah pembaca yang baik dengan meninggalkan jejak😊

Salam semanis gula jawa,

Ersamei,
Jodohnya Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan

ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang