Oat terlihat terkejut ketika aku memanggil Pen dengan sebutan bibi karena dia lelaki. Itu wajar, tapi aku memang lebih nyaman memanggilnya bibi daripada paman. Bagimana juga, tidak lama lagi dia akan menikah dengan Paman Ohm dan menjadi istrinya. Menurutku, panggilan bibi itu yang paling sesuai.
Biar kutebak, Oat pasti akan memandang aneh diriku karena semua anggota keluarga yang hadir laki-laki. Dari papi dan daddy hingga paman dan bibi.
“Apa Kit membuat harimu sulit?” tanya papi pada Oat sembari menuangkan jus jeruk ke gelasnya yang sudah kosong.
“Papi ...,” aku mengerang. Bahkan disaat seperti ini dia juga masih sempat mengungkit hal seperti itu.
Oat menggeleng canggung sembari tersenyum aneh. “Kami teman sekelas. Dia cukup baik,” bela Oat. Demi ayam panggang di meja aku harus berterima kasih padanya besok.
“Seharusnya kau percaya padaku, Pi. Mister Bot tak selamanya berkata benar tentangku,” celetukku dengan nada sedikit mendramasitir.
Pesta yang aku maksud hanya makan malam sederhana dengan nuansa hangat. Daddy Singto pernah bercerita kalau papi, daddy dan bibi satu universitas dulunya sedangkan paman masih sekolah menengah atas ketika bertemu papi di samping tong sampah dengan wajah babak belur.
Papi juga membenarkan cerita daddy kali ini. Seperti sebuah drama, semuanya berjalan sangat cepat hingga mempertemukan paman dan bibi dengan momen-momen lucu menggemaskan. Mereka selalu bertengkar, tapi paman tak pernah menyerah untuk mendapatkan hati bibi. Di sana aku tahu, sebuah ketulusan pasti akan tersampaikan.
“Keluargamu menyenangkan, Kit,” komentar Oat ketika kami sudah masuk kamar.
Aku telentang, berbantal tangan kanan menatap langit-langit kamar yang bersih. “Aku selalu bangga berada di antara mereka, Oat. Terkadang aku berpikir bagaimana kalau hari itu mereka tidak datang menjemputku, mungkin saat ini aku masih meringkuk di sudut panti sambil menangis layaknya orang bodoh,” ceritaku lalu terkekeh pelan.
“Keluarga yang sempurna itu bukan hanya yang terdiri dari ayah dan ibu, tapi keluarga yang penuh kasih sayang. Memperlakukanmu selayaknya anak mereka, meluangkan waktu bersama, terkadang marah karena hal bodoh lalu kembali tertawa bersama.” Lanjutku.
Tubuhku miring, berhadapan langsung dengan tatapan Oat yang menusuk manikku. Dia tidak merespon dengan kata, hanya bola matanya bergerak-gerak seakan mengungkapkan sesuatu.
“Apa kau menganggap keluargaku aneh? Karena mereka semuanya lelaki,” lirihku.
Oat menggeleng samar sembari tersenyum singkat. “Tidak sama sekali. Kurasa, Max hanya melebih-lebihkan tentang keluargamu. Pada nyatanya, keluarga yang kau punya adalah keluarga impian yang diinginkan banyak anak.”
Aku tersenyum, sangat manis dari senyumanku yang sudah-sudah mendengar keluargaku turut indah dimata orang lain. “Aku tahu itu,” desahku.
Kami kembali berdiam-diaman, saling kunci tatapan dengan pemikiran masing-masing. Perlahan, aku merasa Oat semakin dekat, lebih dekat bahkan kami hampir berciuman. Gerakannya terhenti, tepat kurang dari satu jengkal lagi bibirnya berhasil menyentuh bibirku.
“Apa kau menyukaiku?!”
Dia tersenyum tipis, tanpa bersuara aku sudah bisa melihat jawabannya dari sorot mata Oat yang bercahaya.
“Tapi aku bukan gay,” ucapanku yang sukses membuat matanya yang semula berbinar berubah sendu dalam waktu singkat.
Kepalanya kembali mundur perlahan, matanya tak berani lagi menatapku meskipun aku masih memandangnya. Jarinya bergerak di atas kasur seakan sedang menggambar lingkaran kecil yang bertumpuk-tumpuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy's [TAMAT]
De TodoNamaku Kit, anak yatim piatu yang beruntung mendapat kasih sayang seorang ayah. Bukan cuma satu, tetapi dua. Yah, kedua orangtuaku semuanya laki-laki. Tapi aku tidak mempersalahkannya, karena bagiku mereka adalah malaikat sekaligus kombinasi sempurn...