Chapter Satu

322 20 1
                                    

Aroma urin bercampur anyir seketika menyerang penciuman pemuda tegap berambut cokelat itu, manakala ia melangkahkan kakinya ke ruangan gelap tak terawat tersebut. Netra hitam miliknya mengedar sebelum berhenti pada sosok di sudut ruangan.

Seorang gadis yang tak lebih dari dua puluh empat tahun dengan kaki dirantai tampak menggigil ketakutan. Dia terus mencoba mengecilkan tubuhnya dan terus merapatkan diri di sudut dinding, seolah-olah berharap lapisan semen akan terbuka dan menelan dirinya bulat-bulat. Suara tangisnya terdengar parau akibat terlalu banyak berteriak.

Pemuda itu menyeringai sinis, seolah dapat mencium aroma ketakutan yang keluar dari sang tawanan. Dia melangkah perlahan, menyebabkan gadis itu menangis lebih keras. Wajahnya mencoba mencari-cari di antara kegelapan, matanya tampak bergerak-gerak di balik kelopak yang tertutup rapat.

Jeritan tertahannya memecah kesunyian manakala tangan kasar itu menarik rambut hitamnya, membuat wajah penuh memarnya meringis kesakitan. Isak tangisnya semakin pilu, mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tubuhnya meronta, berusaha melepaskan diri. Namun tubuhnya yang semakin melemah tak mampu melawan tangan kuat yang menariknya ke tengah ruangan. Dia berusaha berteriak, memohon, apapun, tapi bibirnya yang terjahit hanya bisa mengeluarkan erangan memilukan.

"Apa kau mengatakan sesuatu?" Pertanyaan itu terdengar meledek, seakan situasi ini dirasa lucu olehnya.

Tubuh ringkih itu bergetar mendengar suara berat laki-laki tersebut, ia kembali mencoba meronta, tapi genggaman itu semakin kuat.

"Sampai di mana kita kemarin? Oh, iya, dia melepas rambut lebat itu dan menaikkan lengan baju sebelah kirinya, tampak bekas cakaran yang sudah mulai mengering.

"Ibuku selalu memperingatkan bahaya memiliki kuku-kuku panjang." Tangannya meraih lengan gadis itu, menghentikan gerakannya yang tampak berusaha menjauh. "Tapi tenang saja, aku sudah bilang akan mengurus masalah ini." Suaranya terdengar ramah, bahkan ceria, saat ia mengeluarkan sebuah gunting besar dari saku celana.

Tanpa menghiraukan perlawanan gadis tersebut, ia mendekatkan gunting tersebut pada salah satu jarinya, dan dengan satu gerakan, ujung jari telunjuk tersebut terjatuh ke lantai berdebu tersebut, diiringi jeritan histeris dari gadis tersebut yang meronta kuat, saat satu persatu jarinya berjatuhan bersama darah segar.

"Selesai, sekarang ayo lanjutkan dengan tangan yang satunya," ucapnya bahagia.

***

"Ow ...." aku mengkibas-kibaskan tangan sebelum berlari ke arah wastafel dan membiarkan tanganku di bawah siraman air dingin. Kulit telapak tanganku tampak memerah akibat siraman air panas tadi.

"Lo kenapa, Ren?" Aku menoleh pada Emil, salah satu rekan kerja yang menatapku khawatir.

"Gapapa, ini tadi kena air panas." Aku menutup keran air dan segera mengelap tangan dengan tisu dari sebelah wastafel.

"Makanya jangan kebanyakan melamun," canda Emil sebelum pergi. Aku mendesah, mengusap rambut hitamku pelan. Emil betul, aku harus lebih fokus pada pekerjaan.

"Lo ga apa-apa, kan?" tanya Anita saat aku kembali ke counter, kembali menghandle mesin kopi.

"Gapapa, ini juga sudah ga sakit lagi," aku memberitahu. Anita tersenyum simpati dan meletakkan tangannya ke bahu kiriku.

"Gimana Intan?" tanyanya pelan, aku membuang napas berat sebelum menatapnya dan menggeleng pelan. Anita paham maksudku dan tidak meneruskan pembicaraan.

"Mungkin lo bisa ambil break sebentar, lo keliatan capek, kerja terlalu keras bisa ga baik, Ren." Aku tau maksudnya baik, tapi Anita seharusnya paham alasanku.

"Lo tau gua ga bisa, Ta. Biaya rumah sakit gak sedikit."

"Lo mestinya terima bantuan gua, biarpun ga banyak, setidaknya bisa sedikit meringankan." Aku kembali mendesah sebelum memaksakan sebuah senyuman ke arahnya.

"Makasih, tapi gua ga bisa terima, lagian gua masih bisa handle kok."

Aku menyerahkan pesanan pada Tia, yang mengambilnya dengan senyuman, sebelum mengantarkan ke meja costumer.

Aku tak menghiraukan tatapan sedih Anita, dan berusaha fokus pada pekerjaan. Andai dia tau, Intan bukan satu-satunya yang memenuhi pikiranku saat ini.

TerrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang