Chapter Tiga

235 19 2
                                    

22.31 malam, Raven Street

Dering ringtone yang berbunyi tiba-tiba, menyentakku keluar dari negeri mimpi. Aku menggerang, berusaha mengabaikan suara nyaring menyebalkan itu berharap bisa kembali melanjutkan tidur. Tapi siapapun yang menelpon tampaknya tak berniat menghentikan gangguannya dalam waktu dekat. Tanganku meraba ke meja kecil di sisi tempat tidur, hingga menyentuh benda pipih yang masih mengeluarkan bunyi yang terus bersahut-sahutan.

Sebelah mataku terbuka, mencoba membaca nama pemanggil. Aku mengutuk dalam hati saat menyadari jam berapa saat ini. Menyentuh icon berwarna hijau di layar handphone, aku tak membuang waktu dan langsung mencecarnya.

"Lo sadar gak ini jam berapa?" bentakku.

Aku tau tak seharusnya berbicara sekasar itu, tapi dia seharusnya tau kalau aku sangat membutuhkan istirahat setelah lelah bekerja seharian.

"Ren ...." Kemarahanku mendadak lenyap, berganti perasaan khawatir saat mendengar suaranya. Sesuatu dalam suaranya membuatku merasa ingin segera menemukan dan memastikan kalau dia tidak apa-apa.

"Lo di mana?" tanyaku tak sabar. Tanganku sudah meraih jaket yang kemudian kupasang sembarang sembari melangkah keluar kamar.

"Kenapa dia melakukannya?" lirihnya, sama sekali tak mengindahkan pertanyaanku.

"Serius sekarang, Ky, lo di mana? gua nyusulin lo sekarang." Aku bisa mendengar dia terkekeh di ujung telpon, jelas sekali bahwa dia sedang mabuk.

"Kalau dia tidak melakukan semua itu, apa menurutmu semua akan berbeda? apa kita bisa hidup secara normal seperti anak-anak lainnya? dan mungkin ..."

"Ky!" aku membentak, memotong ocehan ngelanturnya.

Entah apa yang terjadi, sudah lama sejak terakhir Riky minum hingga mabuk, dia bahkan tidak pernah menyentuh cairan laknat itu tiga tahun terakhir, tentu ada sesuatu yang menyebabkannya kembali melakukan hal ini. Dan hanya satu yang selalu dapat memicu emosinya. Aku kembali mengumpat dalam hati, bagaimana mungkin aku bisa lupa? hari ini adalah hari kematian ibu kami, tepatnya lima belas tahun sejak wanita itu dengan egois memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, meninggalkan kami berdua untuk bertahan tanpa apapun.

"Jangan melakukan hal bodoh, gua segera ke sana."

---

Tak memakan waktu lama bagiku untuk menemukannya. Seperti yang kuduga sebelumnya, aku melihat mobil milik Riky terparkir di depan sebuah klub malam tempat dia biasa menghabiskan malam-malamnya dulu. Tak membuang waktu, aku segera memasuki tempat terkutuk itu.

Suara musik menggelegar segera memekakkan telinga manakala aku memasuki klub tersebut. Rasa dingin yang tadi kurasakan mendadak hilang berganti hangat. Aku mengedarkan pandangan di segala penjuru ruang gelap dengan lampu disko yang tak begitu membantu penglihatan.

Di ujung bar, dapat kulihat Riky duduk. Dia tampak tertawa oleh sesuatu yang diucapkan gadis yang duduk tak jauh darinya. Beberapa botol kosong berada didekatnya. Aku mengutuk pelan sebelum mempercepat langkah mendatanginya.

Riky seolah menyadari kedatanganku dan menoleh. Dia tersenyum seperti orang bodoh ketika melihatku.

"Yo ... Rendra! kemari, kemari, minumlah bersamaku."

Aku hampir memutar bola mata melihat keadaannya. Riky bangun dari tempat duduknya dan kalau tidak segera kutangkap, mungkin dia sudah menyapa lantai sekarang.

Dia tertawa, seolah baru mendengar lelucon paling lucu.

"Lo apa-apaan, Ky, ampe berdiri aja susah." Aku berusaha menegakkan tubuhnya, berniat untuk menyeretnya pulang saat seorang menghentikanku.

"Kau harus membayar minumannya dulu."

Aku menarik napas. Meraba saku celana dan meraih dompet Riky sebelum mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu dan memberikannya pada sang pelayan.

"Apa itu cukup?" tanyaku. Pria muda itu mengangguk.

"Ini terlalu banyak."

"Simpan saja sisanya."

Aku menuntun Riky yang masih juga meracau keluar. Dia sesekali akan cekikikan sebelum kembali berbicara sendiri. Aku mengarahkan Riki ke mobilnya. Meraih kunci dari sakunya, dan baru saja akan memasukkannya ke kursi penumpang saat tiba-tiba ia jatuh tersungkur dan muntah.

Aku membuang muka. Mencoba menemukan jawaban kenapa aku harus memiliki saudara seperti ini.

Saat Riky sudah selesai, aku mengambil botol air minum dari mobil dan memberikan padanya. Riky menenggak cairan sejuk itu dan menggunakan sisanya untuk mencuci tangan dan wajah seadanya.

Aku kembali membantunya masuk ke mobil sebelum memasuki kursi pengemudi dan memulai perjalanan pulang.

Selama perjalanan, Riky hanya diam, aku sempat mengira dia sudah tertidur. Namun menyadari kalau matanya terbuka dan hanya menatap kosong pada jendela.

"Ayo." Aku membantunya keluar dan memasuki apartemenku. Masih di bawah pengaruh alkohol, Riky hampir terjatuh beberapa kali, tapi aku berhasil membawanya dengan selamat tanpa kurang satu apapun.

Aku membaringkan Riky ke atas sofa ruang tamu dan melepas sepatunya, sebelum menjatuhkan diri di kursi sebelahnya karena kelelahan. Hari sudah menunjukkan pukul 00.02 dini hari, tapi kantukku tampaknya sudah menghilang sama sekali.

Aku meraih remot, menyalakan TV untuk melewatkan waktu. Terlihat berita malam sedang mengudara. Aku hanya menyandarkan badan menatap sang reporter membacakan berita kriminal yang sedang heboh beberapa hari terakhir.

Layar TV beralih pada scene di mana seorang laki-laki muda diwawancarai.

"Belum ada, kita masih berusaha menyelidiki kasus ini," jawabnya pada para reporter yang menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. "Iya, iya, laporan tersebut sudah masuk, kami masih belum tau apakah ada kaitan dari keduanya. Sampai saat ini, korban belum bisa diajak berkomunikasi jadi kami masih kesulitan untuk mendapatkan keterangan." Dia mengangguk pada pertanyaan-pertanyaan reporter dan kembali menjawab. "Iya, berita yang masuk ke saya, korban merupakan seorang wanita muda, kita belum mendapat konfirmasi tentang identitas wanita tersebut." Pria itu pergi meninggalkan para wartawan yang masih juga mengikutinya dan meneriakkan pertanyaan lain yang tak lagi dia jawab.

Aku mengernyitkan dahi. Ada korban lain yang ditemukan? Siapa sekarang?

Mataku beralih pada Riky saat aku mendengar dia mengerang sebelum kembali tertidur. Aku mulai merasa kantuk, dan memutuskan untuk melanjutkan tidur, berharap besok aku bisa bangun tepat waktu untuk berkerja.

TerrorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang