purple eyes and the plane

74 6 4
                                    


"Memang tidak penting"

Angin berembus dengan anggun. Mempertemukan kedua kelopak bunga yang sangat kontras.

Langit tidak cerah juga tidak mendung. Ini suasana yang pas untuk mengajak si dia -yang bermata ungu- untuk keluar.

Jalanan yang berangin menyambut kami. Pohon pohon yang bergerak tertiup angin terlihat seperti sedang melambai pada kami.

Si dia -yang bermata ungu- terlihat bersemangat mengejar daun daun yang seakan melarikan diri darinya.

Berhubung udara terasa dingin, Jalanan menjadi sepi. Orang orang lebih memilih menghabiskan waktu untuk menghangatkan diri. Walaupun sesekali aku berpapasan dengan orang orang yang tak kupedulikan tujuannya.

Aku masih tak percaya nenek mengizinkan ku untuk memelihara bola berbulu dengan manik violet ini.

Setibanya aku dirumah kemarin, nenek terkejut melihat aku membawa si dia dgn keadaan basah.

Tanpa aku harus memohon, nenek langsung mengizinkanku. Si dia juga tampak senang menyadari dirinya tak akan lagi tinggal di jalanan yang keras.

Aku mempercepat langah saat kami sudah hampir tiba ditujuan. Sebuah pohon besar -mirip pohon maple- teronggok bisu di dekat jurang.

Hanya tersisa jarak sekitar 3 meter dari pohon itu ke jurang. Rantingnya bergerak lembut diterpa angin membuat sedikit daunnya berguguran.

Di kota yang depenuhi ingar bingar kehidupan, tersisa segenap tempat yang tidak terpengaruh dunia luar.

Letaknya yang lumayan tinggi mebuatnya menjadi terpencil. Begitu tenang dan membuat tempat ini menjadi favoritku.

Si dia dengan mata ungunya mengamati sekitar dengan teliti. Membuatnya urung mengejar dedaunan lagi.

Aku menarik nafas dalam dalam. Udara di sini masih tergolong bersih.

Aku mendekati pohon yang hanya sendirian itu. Kubentangkan sebuah kain yang cukup lebar diatas rumput.

Si-dia tertarik dan memain mainkan ujung kain itu, membuatku harus beberapa kali merapikannya kembali.

Tanpa basa basi, aku langsung merebahkan raga ini diatasnya. Kubiarkan angin bermain dengan rambutku.

Si-dia yang sudah bosan memainkan kain mendekatiku. Tubuhnya yang gempal terlihat menyatu dengan bumi saat ia duduk.

Aku menyadari kehadiran mahluk itu dan mengelus tubuhnya. Ia mengubah posisi melipat kakinya agar lebih cakap.

"Ngomong-ngomong aku belum memberimu nama"

Sambil berpikir nama apa yang bagus untuknya aku terus mengunci pandanganku pada langit.

Tiba-tiba sebuah pesawat melintas diatas kami. Terlihat sangat kecil.

Aku mengangkat tanganku seakan aku bisa menggapai pesawat yang sedang terbang dengan bebas itu.

"Mama itu apa?" Aku menunjuk sebuah benda terbang diatas kami.

"Namanya pesawat" mama tersenyum.

"Pesawat itu apa?"

"Kendaraan seperti mobil, tapi bedanya ia bisa terbang".

"Aku juga mau bisa terbang" ucapku sembari berdiri.

"Kalau begitu terbanglah" mama masih tetap tersenyum.

"Tapi akukan gk bisa terbang..." Keluhku.

"Pesawat juga awalnya tidak bisa terbang"

"Ehhhh....tapi dia hebat lho terbangnya"

"Karena dia berusaha"

"Mirip burung?"

Mama mengangguk mengangguk.

"Mama yakin Mio pasti bisa terbang"
Aku mengangguk mantap walapun masih tak mengerti arti kata 'terbang' yang dimaksud mama.

Seketika memori masa kecilku melintas. Mengingat kepolosanku dulu membuatku ingin tertawa.

Pesawat ya...pasti mama hanya ingin menggantinya karena kata' burung' itu sudah terlalu sering.

Aku tertawa mengingatnya lagi.
"Memang tidak penting"

TBC~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A cat With purple eyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang