Part 7

3.4K 210 5
                                    

NABRAK GUS

"Tabrakan ini sepertinya buat jantung gue copot, karena detaknya tak terasa."

***

Gue pikir setelah 'ngarep' sama Gus Azmi bakal buat hati tenang Gaes, tapi ternyata nggak. Hati gue masih sakit setiap kali ada santri yang ngomongin Gus dan kekasihnya Syifa.
Yang katanya mereka serasi lah.
Yang sekufu lah.
Yang ganteng dan cantik lah.
Pasangan paling sempurna di pondok lah.

Panas dengernya, andai boleh sementara budek dulu, sementara ya, kalau selamanya jangan sampai deh ... amit-amit, semoga gak kejadian. Tujuannya 'kan supaya moveon dari Gus Fatih.
Andai hari itu yang ruqyah abine pasti tidak ada rasa yang tertinggal di sini, nunjuk hati Gaes.

"Kenapa sih, harus ada wanita sekufu dengan Gus Fatihdi pondok ini? Ana tau jodoh itu sudah tertulis di lauhul Mahfuz sana, tapi setidaknya nunggu ana lulus dulu ... supaya cepet moveonnya. Duh Gusti, ana ndak kuat. Huhuhu." Mbak Siti nangis tersedu-sedu.

Disusul tangis Zulfa. "Iya, harusnya tuh ana yang jadi istrinya Gus Fatih. Selama ini 'kan ana sudah rajin nikung lewat doa-doa. Hiks."

"Ana bahkan sudah menghapal lagu gambus 'Habibi Ya Nurol Ain' kesukaan Gus Fatih, buat jaga-jaga kalau nanti Gus sedih ana akan hibur dia." Siti menghirup cairan yang meleleh dari hidungnya.

Mereka terlihat bergantian saling memberi tissue dengan kepala saling bersandar. Dapur memang lagi sepi, karena malam telah larut, alhasil kami bebas berekspresi. Gue, sudah dua bulan ikut piket di dapur umum dan malam ini dapat giliran. Dua sekawan yang seperti Tom Jerry saat baik-baik saja itu, ruapanya ingin meluapkan rasa sedihnya di dapur yang sepi.

Ya Allah, ternyata ada yang lebih terluka dari pada gue. Secara mereka memang lebih lama ada di pondok ini, karena gue udah tua masuknya jadilah kita seumuran.

Syifa itu terlalu sempurna, sudah pupus harapan kami. Jalan satu-satunya adalah mengikhlaskan takdir ini, hiks.

Karena kasihan dan gak tega, gue ikut menepuk pundak mereka pelan. Padahal, gue juga sedih Gaes, tapi untung gak sampai nangis seperti mereka.

"Oya, Mbak Zee. Ana mau izin pulang nenangin hati dulu seminggu, sapa tau setelah piknik ke gunung cinta ana buat Gus tertinggal di sana."

"Oh, ya Mbak. Na'am. Ndak apa-apa. Apa kalau pulang karena patah hati termasuk uzur syari di pondok ini." Lagian Mbak Siti ini ada-ada saja, masa karena patah hati mau izin pulang. Ck.

"Oh, ya ndak sih. Cuma 'kan selama ana jatuh cinta sama Gus setiap jatah pulang ana tahan-tahan. Jadi boleh saja kalau mau nego sama ustazah."

"Ya, ya."

"Sekalian ana juga mau pulang Mbak Zee, terpaksa seminggu ke depan Mbak Zee ambil tanggung jawab penuh di dapur ini." Zulfa menimpali.

OMG, tahu begini ana ndak mau di tunjuk jadi ketua piket, terpaksa harus menggantikan ketua lain saat mereka ada uzur.

"Tapi afwan, ana kan baru di dapur umum, apa ndak jadi masalah nantinya?"

"Soal itu, ndak usah dipikir. Sejak awal kami tau Mbak Zee ini sudah tuwir, bukan anak-anak jadi kami masukkan ke sini, ikut ngurus.  Jadi walaupun baru Mbak Zee ini termasuk berumur di sini. Okeh."

Gue meniup berat, seberat tugas yang mereka limpahkan paksa.

"Yo weslah ... dipikir keri wae. Ati-ati, jangan kebablasan izinnya. Izin mau piknik nanti malah kawin di kampung."

"Huss, ndak semudah itu kami moveon Esmeralda!" Mbak Siti dan Zulfa bangkit, meninggalkan gue seorang diri di dapur.
Ya sudahlah melihat keadaan mereka rasanya tidak tega jika harus menolak semua tugas itu.

Saat meletakkan piring-piring ke tempatnya, ada suara langkah kaki mendekat dari ruang samping.
Mungkin Mbak Siti atau Mbak Zee tertinggal sesuatu dan kembali.

"Assalamualaikum." Suara laki-laki, sepertinya gue kenal Gaes. Itu ... deg. Gus Fatih, sedang apa malam-malam begini? Saking deg-degan sampai lidah gue kelu, ndak jawab salamnya.

"Hem, ndak ada yang nyahut. Berarti sudah kosong dapurnya. Sudah kuduga mbak-mbak itu lupa matikan lampu."

Gue bergeming di pojokan dapur, nunggu Gus Fatih matikan lampu dan pergi.

Semenit, dua menit, lima menit, orang itu gak juga pergi. Bisa-bisa gue kaku di tempat ini.

"Apa ini?" Gus sepertinya menemukan sesuatu.
"Kitab kok sampule gambar orang Korea."

Aduh itu kitab gue Gaes. Tadinya setelah ta'lim malam, gue langsung ke dapur, supaya gak bolak-balik. Gara-gara Mbak Siti dan Zulfa gue jadi lebih lama ada di dapur.

"Dear diary ...." Gus Fatih membaca sesuatu yang membuat gue melotot. Di dalam kitab itu ada diary kecil tempat gue curhat termasuk soal patah hati gue.

Gak mau Gus sampai membaca tentang patah hati gue, segera gue lari ke ruang sebelah.
"Jangaaaan!" teriak gue agar Gus tidak membaca lebih lanjut.

Dia menoleh melihat gue, dan sialnya kaki gue kesandung karpet di bawah meja lalu ....

"BRUGHT!"

Gue menabrak Gus Fatih, hingga posisi tubuh gue ada di atasnya Gaes, dan gak sengaja mencium pipinya. Jantung gue udah copot kali, rasanya berhenti berdetak karena ini.

"Astagfirullah Gus!" seorang ikhwan sudah berdiri di depan pintu.

Gue dan Gus menoleh berbarengan ke arah santri itu, karena sama-sama kaget mendengar suaranya dan belum sempat berubah posisi. Ya Allah fitnah apa ini? Apa yang akan terjadi setelah kejadian ini?

BERSAMBUNG

Kontrak Pernikahan dengan Gus (Season 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang