Chapter V

2.4K 45 0
                                    

(Edited)

     Gerakan tiba-tiba yang dilakukan oleh lelaki itu kemudian di tangkis oleh Theo. Gerakannya yang mudah terbaca tentunya dapat diantisipasi dengan mudah oleh Theo.
     Denting pedang kian beradu, hingga suara nyaringnya tidak lagi teredam oleh arus sungai Tiber yang tenang. Cipratan air-pun tidak ter-elakan saat lelaki itu mulai terpojok ke sisi sungai.
     Yang benar saja, lelaki itu bukalah lawan bagi si Ksatria. Sekuat apapun ia berusaha, hanya kematianlah yang akan mengakhiri perlawanannya.
     Dihunuskannya pedang milik Theo ke arah leher lelaki itu. "Kau hanya tinggal memilih untuk mati sekarang, atau bermain-main denganku."
     Dengan cekatan, lelaki itu menepis pedang yang nyaris memutuskan urat lehernya. Pertarungan tidak imbang antara dua orang itu terus berlanjut hingga pedang Theo menyabet lengan kanan lelaki itu.
     Lelaki itu menggeram kemudian merasakan darahnya berdesir. Sial, bahkan lelaki itu yakin kalau Theo hanya mengibaskan pedangnya secara halus. Jika Theo benar-benar mengibaskan pedangnya, sudah dapat dipastikan kalau lelaki itu akan kehilangan sebelah lengannya.
     "Sepertinya aku mulai bosan bermain-main denganmu."
     Theo lalu mendendang dada lelaki itu. Pedang itu... Pedang bedebah! Lelaki itu teringat akan pedang yang dihunuskan ke jantung Tiberus sebagai akhir pertarungannya.
     Sekuat tenaga lelaki itu menahan rasa perih dilehernya. "Mungkin kau memiliki kalimat perpisahan?" Tanya Theo sambil terus menekan pedangnya.
     "Pe-pengikut Tiberus dikutuk tidak akan ha-habis mata rantainya. Hi-hingga pengikutnya yang terakhir benar-benar sepadan untuk ka-kau lawan bajingan."
     Kalimat terakhir yang diucapkan lelaki itu sebelum Theo membuat kepala lelaki itu benar-benar terpisah dari tubuhnya. Aliran sungai Tiber yang jernih seketika berubah menjadi merah pekat. Terus mengalir hingga tetes darah terakhir dari pengikut sang iblis. Gratus, dari distrik mati dua puluh tujuh, musnah.
     Sesuai perkiraan, penyisiran hari ini membuahkan hasil. Setelah menyerahkan Frederik kepada Nic, Theo melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Ia membaringkan tubuhnya dengan kaku diatas ranjang. Masih dengan pakaian militer lengkapnya, ia memejamkan matanya sejenak.
Lawan yang sepadan katanya... Ucapan Gratus sebelum musnah itu tiba-tiba terpatri di otak Theo. Lawan seperti apakah yang dikatakan sepadan dengannya? Jika Tiberus saja mampu ia taklukan.
     Apakah dia lebih kuat dari Theo? Atau memiliki kemampuan diatas Theo? Hal itu justru membuat Theo ingin segera mengakhiri lawan terakhirnya itu.
     Ia kemudian memutuskan untuk bangkit dan membersihkan dirinya.
•••
     "Aku ingin penyisiran esok hari dilakukan dengan cepat. Mengingat tempat yang akan kita tuju berbeda dengan sebelumnya." Perintah Theo pada Nic.
     "Menurut data yang saya analisis dari susunan tiap chip, sasaran kita kali ini berada di kota Pompeii, pusat distrik empat puluh lima Tuan..."
     "Pegunungan Ereden." Sambung Theo.
     "Maksud anda target kita selanjutnya ada di dataran Ereden?" Tanya Nic memastikan.
     "Tepatnya Lauterbrunnen Valley."
     "Berapa banyak pasukan yang anda butuhkan Tuan...?"
     "Tidak banyak. Pastikan tidak mencolok."
     "Baik Tuan..."
•••
     Zoe merapatkan kembali masker buff-nya hingga menutupi separuh wajahnya sebatas hidung. Ia kemudian mengambil sebuah ransel besar yang dikaitkan erat dibagian belakang punggung Mou. Hari ini tekadnya untuk mengamankan Mou sudah bulat.
Beruntungnya, cuaca siang ini cukup cerah, membuat perjalanan gadis itu lebih mudah. Selain bisa menjaga tenaga Mou dari serangan cuaca buruk, hal itu tentu memudahkan track yang akan Zoe lalui. Setidaknya, ia tak perlu menapakan kakinya diatas genangan lumpur menjijikan.
     Penyisiran yang dilakukan oleh si Ksatria itu rupanya mampu membuat Zoe memiliki sedikit pengecoh untuk melakukan aksinya. Mengingat kala itu Mikhael juga menyarankan hal serupa, makin membulatkan tekad Zoe untuk menyembunyikan Mou.
     "Kau benar-benar akan pergi Zoe?" Tanya Molly saat melihat gadis itu tengah berkemas.
     "Aku benar-benar akan pergi Bibi, lagipula ini kesempatan yang bagus. Caligula sedang sibuk menjadi budak si Ksatria biadab itu dan aku yakin waktunya akan sedikit terkuras."
     Molly menghela napasnya pelan. Ia meraih bahu Zoe, membuat mereka saling berhadapan. "Kau tau Zoe, kau adalah gadis paling berani yang pernah aku kenal."
     Zoe menatap Molly lekat. Baginya Molly bukanlah sekadar Bibi baginya, ia satu-satunya keluarga yang ia punya setelah Zoe kehilangan Mikhael. Karena sejak peristiwa itu terjadi, Zoe tak pernah menemukan kembali keluarganya.
     Ksatria biadab itu. Penghancur kehidupannya. "Terimakasih telah menjagaku selama ini Bibi..." Ucap Zoe tulus.
     Tanpa bisa membendung air matanya lagi, Molly lantas memeluk Zoe. "Aku tak akan sanggup melihatmu berakhir ditangan Ksatria Zoe."
     Zoe melepas pelukan itu. "Ku pastikan dia tak akan berakhir dengan mengambil jantungku," ucap Zoe mantap.
     Molly membelai surai putih Mou yang terasa lembut di tangannya. "Mou, kau harus berjanji membawa gadis keras kepala ini dengan selamat," ucap Molly seolah tengah menasehati Mou.
     Zoe tersenyum melihat tingkah Bibinya itu. Meskipun ia tidak tega meninggalkan wanita tua itu, ia tetap harus pergi. Karena jika ia tidak pergi, sama saja ia menyeret Molly dalam bahaya.
     "Jaga dirimu Zoe!" Seru Molly saat Zoe keluar dari halaman belakang pondoknya.
•••
     Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, Theo dan beberapa pasukannya akhirnya sampai dilembah Lauterbrunnen Valley. Lembah yang dijadikan sebuah distrik ini berada di wilayah bagian Bern Romawi.

Zoe's EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang