Chapter IV.2

341 33 5
                                    

Banyak hal mungkin berubah dalam hidup, entah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Ada perasaan maklum melihat tipisnya perubahan sikap yang ditunjukan oleh lelaki itu saat kembali membuka komunikasi dan kontak mata.

"Kita akan kemana?" Zoe bertanya ragu. Berharap menemukan jawaban atas pertanyaan yang berkecamuk dipikirannya.

"Pergi."

Zoe mengatupkan kembali bibirnya. Sepertinya bukan saat yang tepat untuk bertanya. Tapi melihat arah yang mereka berdua lalui, membuatnya sedikit de javu.

Pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan kokoh itu, obor kecil yang menerangi sepanjang jalan, dan beberapa kali suara decitan pagar besi yang terdengar ngilu. Tempat ini tidak begitu asing.

Mereka berhenti disebuah ujung lorong yang terbagi mejadi dua pintu yang bersebelahan. Ada celah kecil yang di teralis besi-besi kecil hingga membuat cahaya matahari menembus malu. Kemudian sebuah obor mati di sisi kanan masing-masing pintu yang membuat ruangan itu nampak usang.

Theo menarik kunci yang ada dibalik obor mati itu dan memasukannya kedalam lubang kunci. Clek.. Pintu itu terbuka, menimbulkan suara decitan kecil. Dengan ragu, Zoe masuk dan mengikuti langkah Theo yang berjalan lebih dulu didepan.

Tidak seperti dugaannya, ruangan itu jauh lebih besar didalamnya, dengan ornamen kuno yang ia yakini ajaran Vatikan dimasa Reincanase, ruangan itu tampak lebih... Manusiawi.

Cahaya matahari yang masuk dari jendela-jendela kaca yang menjulang tinggi, membentuk sebuah domino raksasa membuat patung-patung yang ada di sudut ruangan itu nampak.

Mata Zoe berbinar. Aphrodite? Dalam hati tersenyum lega kerena menemukan setitik cinta setelah kondisi yang ia alami tempo hari.

Namun kekagumannya beralih pada sosok berpakaian bak Legiun Militer, lengkap dengan sebuah pedang yang terselip di sisi kanan tubuhnya. Kemudian penutup wajah yang hanya menyisakan pangkal hidung dan mata orang itu.

Bulu kuduk Zoe meremang. Binar itu... "Isaalos...?" Ucapnya ragu. Langkahnya seolah membeku dan tidak dapat bergerak untuk lebih dekat dengan lelaki itu. Tapi nalurinya berteriak seolah meminta tubuhnya agar mendekat.

Derap langkah kaki lelaki itu menambah pacuan detak jantung Zoe yang semakin kencang. Hingga ia menanggalkan penutup wajah itu, air mata Zoe menggenang.

"Kau!" Zoe reflek berlari dan menerjang tubuh tinggi itu hingga keduanya sama-sama terhuyung ke belakang.

Air mata Zoe perlahan mengalir saat kedua tangan kekar itu merengkuhnya. Menghirup aroma tubuhnya yang tak pernah berubah. Perasaan rindu serta kekhawatiran yang pecah menjadi satu, kini terbalaskan.

"Aku merindukanmu, kawan," bisik Isaalos pelan.

Zoe memejamkan matanya erat. Mengatur napasnya yang sesekali tersengal. "Aku sangat merindukanmu..." Ucapnya disela isak tangisnya.

Isaalos tersenyum tipis. "Aku akan selalu bersamamu Zoe," ucapnya mantap. Meskipun ada kilat kecil dimatanya, yang membuatnya merasakan dua perasaan yang berbeda, tapi hal itu tidak membuyarkan perasaan sorai-nya saat dapat melihat Zoe dalam keadaan utuh dan baik-baik saja.

Ia terkikik kecil saat menyadari gadis itu menangis. Terdengar dari isak kecilnya yang menggelikan ditelinga kirinya. "Kenapa kau menangis...?" tanyanya lembut.

Zoe's EnemyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang