II. a man in the forrest

34 10 0
                                    

Di salah satu hari terpanas di awal musim panas.

Sang surya tengah berada di puncak cakrawala. Di tengah musim panas seperti sekarang, teriknya membuat siapapun yang berada di bawahnya mandi keringat. Bahkan, pohon-pohon rindang yang menjulang pun dapat diterobos oleh terik ganas sang surya. Langkah laki-laki itu terhenti, ia menyeka keringatnya. Netranya mengamati sekeliling hutan yang dipenuhi oleh semak-semak dan pohon-pohon raksasa. Jantungnya berdetak dengan keras, berpacu dengan angin yang juga berhembus kencang menerbangkan hawa musim panas dan aroma khas hutan. Entah, itu akibat ia terus berlari sejak tadi masuk hutan atau karena ia memang panik mengantisipasi ada orang yang mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu membuka tas punggungnya, mengambil secarik kertas kecoklatan yang sepertinya berasal dari robekan kertas perkamen. Di atas kertas yang sudah lecek itu terdapat titik yang saling terhubung. Sebuah petunjuk arah yang sejak awal menuntunya masuk ke hutan.

Napas laki-laki itu masih terengah-engah. Susah sekali berkonsentrasi di tengah terik surya yang sangat menyengat dan kondisi tubuh yang belum terisi cairan dalam waktu yang lama padahal ia terus memaksa fisiknya untuk berlari menerobos ganasnya hutan. Titik-titik di peta itu terlihat berlarian di atas kertas kecoklatan, laki-laki itu harus mengedipkan matanya berkali-kali agar fokus matanya kembali dan ia bisa membaca peta tersebut. "Aku sudah melakukan ini sebelumnya," bisiknya kepada tak seorangpun, melainkan dirinya sendiri. "Ini sudah benar," tambahnya meyakinkan dirinya sendiri.

Langkah kakinya kembali berderap, membelah hutan lebih dalam. Tangannya masih menggenggam peta. Ia harus sampai sebelum senja. Pesan itu terus terputar di otaknya. Ia kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia sudah pernah melakukan ini dan ia pernah menjadi yang terbaik dalam segala urusan yang berhubungan dengan kecepatan dan hutan. Namun, kali ini rasanya berbeda. Gesekan dedaunan dengan ranting yang terhembus angin membuat dirinya makin gugup, ia terus merasa langkahnya sedang diikuti, pergerakannya terus diamati. "Mereka tidak akan mengikutiku. Aku tidak akan berguna untuk mereka." Ia menyugesti dirinya untuk tetap tenang.

Saat sang surya sudah tergelincir dan teriknya sudah jinak serta hanya terasa hangat, ia sampai di sebuah gua. Ia memasukinya dengan napas yang terengah. Kegelapan menyambutnya. Keadaan di dalam gua sangat lembab, dengan beberapa kelelawar tampak menggantung di langit-langitnya. Laki-laki itu terus merangsek dalam gua, mencoba berbaur dengan keadaan sekitarnya. Ia mulai menyalakan api dengan kayu yang tadi sempat ia kumpulkan sepanjang perjalanan ke sini. Laki-laki itu meninggalkan perapian yang baru saja dibuatnya, ia berjalan masuk lebih dalam ke dalam gua. Mencari mata air yang ia tahu betul ada di dalam sini.

Sambil menyegarkan tubuh dan kerongkongannya, pikiran laki-laki itu terus memutar kilasan peristiwa yang terjadi sebelum hari ini juga suara-suara yabg terus terputar dipikirannya. "Mereka tidak akan menemukanku. Tapi dia pasti akan datang," bisiknya dengan suara pelan.

Suara langkah kaki yang pelan terdengar dan menjadi sangat keras karena efek gema yang ada di gua. Sosok itu kemudian muncul, membuat laki-laki muda yang sedang mencelupkan tangannya ke dalam air mendongak. "Aku hanya numpang, tidak akan lama. Aku janji."

Sosok itu memandangnya dengan sengit. "Sampai kapan? Aku tidak mau orang asing tahu keberadaanku di sini."

"Until i meet her."

"Aku tidak mau terlibat urusan pribadimu yang sangat menjijikan dan kotor, anak kecil," sosok itu memandang lelaki dengan penuh perhitungan, ia melihat baju yang dipakai lawan bicaranya masih saja seperti terakhir mereka bertemu. "Kau ingat kan, aku tidak menolong seseorang untuk kedua kalinya?"

"Aku sudah banyak belajar, jangan cemaskan aku lagi."

Sosok itu tertawa. "Mana mungkin aku mencemaskan bocah tengil sepertimu."

"Ya, aku juga tidak mau ditolong oleh orang yang kasar dan perhitungan sepertimu lagi."

"Tidak sopan, dasar anak muda jaman sekarang."

"Gila hormat, dasar orang tua jaman kuno."

Sosok tua itu kembali tertawa, kali ini tertawa geli. Kemudian, ia berlalu ke sisi gua yang lebih dalam, meninggalkan sang lelaki yang kini dapat menghirup napas dengan lega. Ia berjalan ke tempat perapian yang ia buat tadi. Ia tahu kedatangan oranh tua tadi pertanda hari sudah gelap dan satu yang pasti pintu masuk gua sudah tertutup rapat dan ia akan aman, setidaknya sampai sang surya kembali muncul di cakrawala.

Saat kantuk mulai menyerangnya ia tidak bisa mengelak lagi. Ia membiarkan kegelapan menyedotnya hingga fajar datang. Tertidur dengan robekkan kertas coklat yang sejak tadi menuntunnya ke gua. Dalam tidurnya, ia bermimpi sebagian kertas lainnya yang telah ia tinggalkan akan memberikan sedikit jalan terang baginya.

***

(welcome to my first ever author note)

halo! salam kenal ya, semuanya^^

semoga suka sama cerita ini yaa. selamat membaca!!


tertanda,

rainarfa.

What Happened in the CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang