III. news and forgotten letter

32 7 0
                                    

Sekarang sudah dua hari semenjak hilangnya Zachary. Semua headline berita di dunia masih menyertakan foto Zachary dan Raja Ferdinand. Aku sempat menelpon Kakakku, bertanya dan memastikan keadaan Astovia sekarang. Jawaban yang kudapat dari Kakakku tidak terlalu memuaskanku tapi aku tidak berani mendesak untuk meminta jawaban lebih dalam karena Kakakku terdengar sangat lelah. Kemudian aku berakhir dengan mengobrol (eh, lebih tepatnya saling mencaci) dengan adik laki-lakiku yang baru saja masuk SMA.

"Kau pasti sangat mencemaskan dia?"

"Semua orang mencemaskan dia. Tahta Astovia sekarang sedang kosong."

"Halah, alasan saja. Katakan padaku sudah berapa lama kau berkencan dengan Zach?"

Aku melotot mendengar pertanyaan tak masuk akal dari adik laki-lakiku ini. "Jangan gila. Aku bahkan tidak sanggup menatap wajah Zachary tanpa membayangkan untuk mencakar wajah narsisnya itu."

"Bohong. Aku masih ingat bagaimana kalian berciuman saat ulang tahun kelima belasku beberapa bulan yang lalu."

"HEY!!!" Aku berteriak dengan kesal. Bisa-bisanya anak ini mengingatkan momen yang paling ingin kuhapus dari memoriku. "Itu tidak sengaja! Itu juga karena kau mendorongku saat Zach sedang akan membisikkan sesuatu kepadaku! Aku masih marah ya tentang kejadian itu!"

William tertawa terbahak-bahak mendengar balasanku barusan. Benar-benar adik kurang ajar! Rasanya aku mau menguburkan diri ke inti bumi saja saat mengingat kejadian beberaapa bulan lalu itu. Itu merupakan salah satu peristiwa yang ada di urutan teratas dalam daftar kejadian-kejadian yang ingin aku hapuskan selamanya dari ingatanku. Tolong, diingat sekali lagi. Aku dan Zachary murni berteman atau kami lebih suka menyebut hubungan kami dengan istilah 'teman tapi musuh'. Aku sudah mengenal Zachary sejak kami masih kecil, mungkin saat aku di taman kanak-kanak dan Zachary sudah sekolah dasar. Hubungan persahabatan negara kami yang terbilang akrab membuat aku dan Zachary sering bertemu di beberapa acara kerajaan. Belum lagi, Zachary suka sekali memperalatku supaya dikenalkan kepada teman-temanku sesama bangsawan yang cantik.

Setelah topik tentang Zachary berhenti dibahas (karena aku benar-benar marah dengan William), kami membahas topik lain seperti Kak Elise yang tampak lebih tertekan dari sebelumnya serta situasi kerajaan yang menurut William sedang dalam kondisi tidak baik.

"Maksudmu apa sih?"

"Aku tidak sengaja mendengarnya," kata William dengan suara berbisik tapi intonasinya sangat serius. "Kau ingat tidak cerita Papa tentang kelompok dari selatan itu?"

Ingatanku berputar pada tiga tahun lalu saat Papa dan Mama kami masih ada bersama kami. Saat itu Kak Elise, aku, dan William memang sangat dekat dengan Papa meskipun Papa memiliki kesibukkan yang menggunung serta tanggung jawab yang besar sebagai seorang raja. Papa sering mengajak kami berkumpul di perpustakaan pribadinya. Di sana Papa akan mengajak kami mengobrol sambil beliau mengerjakan tugas kerajaan di meja kerjanya sedangkan aku, Kak Elise, dan William akan menjamah satu persatu buku yang ada di rak perpustakaan tersebut. Papa memang suka mengajak kami bertiga terlibat dalam urusan kerajaannya, sejak kecil kami sudah diperkenalkan dengan tugas-tugas kerajaan yang dikerjakan Papa, misalnya dengan melihat beliau bekerja di perpustakaan tersebut. Di perpustakaan itu pula aku, Kak Elise, serta William mendapat pelajaraan tentang leluhur serta sejarah kerajaan kami di luar pendidikan formal kami di sekolah. Seingatku, cerita tentang kelompok dari selatan itu muncul saat Kak Elise menyebutkan tragedi merah yang baru saja ia dapat saat pelajaran sejarahnya di sekolah.

"Bukankah kata Papa kita tidak boleh berbicara tentang mereka di tempat umum?"

"Aku sedang sendirian di kamarku jadi tidak masalah kita bahas mereka," ujar William ringan.

What Happened in the CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang