4° Senyum dan Kebiasaan

36 4 2
                                    


Dia bukan orang tertampan di sekolah, ia juga bukan tipe bad boy  layaknya tokoh fiksi yang disukai sebagian cewek. Kulitnya tak putih, mungkin bisa dibilang eksotis. Yah, begitulah. Tak ada yang spesial darinya jika dilihat dari luar.

Tapi, anehnya tak sedikit perempuan yang mencoba mendekatinya. Dan aku termasuk di dalamnya. Tunggu, perlu digaris bawahi bahwa aku hanya menyukainya. Aku tidak pernah berencana untuk membuat strategi agar kata aku dan dia menjadi kita. Aku tak pernah berpikir sejauh itu.

Mungkin, perasaan ini hanya sebatas rasa suka biasa. Mungkin.

Namun, aku beritahu apa yang aku suka darinya. Aku suka melihat dia ketika tersenyum. Aku suka senyumnya.

Seperti sekarang aku baru saja memarkirkan sepedaku dan dia pun baru saja datang melintas di depanku.

Aku memang mengenakan sepeda ketika berangkat sekolah. Dan dia mungkin hari ini memang sedang ingin mengenakan sepeda dan menyimpan motor maticnya. Atau, dia sedang tidak punya uang untuk membeli bensin. Aku tak tahu.

“Pagi, Zee.” Aksara tersenyum kepadaku. Matanya menatap tepat dimanik mataku. Selalu begitu.

Bisa tak bisa aku  balas menatap, sambil tersenyum. “Pagi juga Sa.”

Seperti biasanya pula, aku tak sampai untuk bertatap dengannya lebih dari sepuluh detik. Aku mengalihkan pandangan. Walau sebenarnya aku masih ingin melihat senyumnya. Sayang, jantungku tak bisa diajak bekerja sama.

Aku lebih dulu berjalan ke lorong yang menghubungkan parkiran dengan koridor. Tepat saat aku keluar, Aksa menjajari langkahku.

Tak ada percakapan hingga, “Tumben naik sepeda.” Aku menoleh ke arahnya sejenak ketika dia masih fokus menghadap jalan.

“Si Pio ngambek,” jawabnya santai dengan kedua tangan yang masih setia terbenam di saku celana.

“Ya elah, tinggal beli aja yang baru kenapa. Gue tau lo bukan rakyat missquen.” Aku terkekeh sambil terus mengimbangi jalannya yang lumayan lebar.

Tinggiku memang tak jauh-jauh darinya. Jika bersisian seperti ini aku hanya mencapai pelipisnya. Tapi tetap saja langkahku kalah panjang darinya.

“Lo udah tau sendiri alasan kenapa gue gak mau ganti Si Pio kan?” Aksa menaikan sebelah alisnya, matanya sekilas melirik ke samping.

“Yayaya, lo emang sayang banget sih sama Si Pio.” Aku memang paham dengan sifatnya yang kukuh itu.

Aksara tertawa, sampai sederet gigi putihnya terlihat. Ia begitu menawan jika sedang tersenyum seperti itu. Andai, wajahnya bisa ku abadikan di ingatanku.

“Lo itu emang yang paling ngerti deh.”

“Jelas,” jawabku balas tertawa. Semua aku tau Sa, kecuali isi hati lo.

Lerlarut dalam obrolan pagi yang menyenangkan, tak terasa kelas kami sudah di depan mata.

“Oya, lo belum pernah naik Si Pio lagi selama kita kelas 12.” Aksa masih membuntutiku.

“Lo selalu sibuk sama gebetan.” Aku berjalan hingga baris ketiga dan menjatuhkan bokongku di sana.

Aksa tertawa keras, entah apa maksudnya. “Itu bukan tanda lo cemburukan?”

Aksa duduk di depanku, dengan mudah ia membalikkan kursi menghadap ke arahku di belakangnya.

“Cemburu? In your dream,” jawabku tanpa melihat ke arahnya.

“Ini masih pagi, daripada lo sibuk gangguin gue. Mending kerjain PR lo. Gue tau lo belum ngerjain PR MTK Pak Ruslan kan?”

===

M

ungkin sudah menjadi kebiasaanku untuk mengingatkan PR kepadamu, selain menikmati senyummu

RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang