Emosi dan Perasaan

999 114 6
                                    

Satu minggu kemudian

Author POV

Di kamarnya (Name) duduk di bangku meja belajarnya dengan menatap horor pada sepucuk surat tak  bersalah di depannya.

Sang kakak (B/N) bahkan bingung dengan keadaan adiknya itu. Karena apa? Karena (Name) sendiri tak pernah merasa setenggang ini saat mendapat surat.

"Apakah aku harus membukanya? Apa aku akan di terima? Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau tidak membukanya? Aku harus bagaimana?" Kepalanya seakan berputar.

Di sisi lain dari kamar (Name), (B/N) mencoba masuk ke kamar adiknya tersebut. "Woi, buka woi! Ngapain lu kunci segala, Woi!" Katanya sambil menggedor-gedor pintu kamar.

Tiba-tiba pintu terbuka keras bagai terkena angin puyuh. Terlihat (Name) menunduk dengan memegang surat tadi. "Ada apa? Bagaimana hasilnya?" Si kakak memasang wajah khawatir.

Tak mendapat jawaban (B/N) mengambil surat dari tangan (Name).
"Tolong bukakan ini untukku!" Kata (Name) gemetar.

Saat dibuka, kakak mendapati sebuah alat mirip proyektor yang menampilkan gambar Kepala Sekolah U.A-Nezu.

"...jadi intinya kau hampir saja gagal karena menggunakan bakatmu pada orang lain. Kau tahu, poinmu sangat tipis untuk memenuhi kriteria DITOLAK!! Tapi selamat karena kau diterima!" Proyektor itu sudah benar-benar membuat (Name) merasa senang sekaligus depresi.

"Hiroaki, orang menyebalkan itu." Kata (Name) dalam hati dengan tatapan suram.

Hangat. Itulah yang dirasakan (Name) ditengah perasaan campur aduknya. "Selamat! Selamat karena sudah diterima di U.A!" pelukan hangat dari sang kakak benar-benar menenangkan (Name) yang kalut dalam emosinya.

Saat jam makan malam.

Karena (B/N) merasa sangat senang. Tanpa sadar dia memasak terlalu banyak. Kebetulan Ibu Bakugo sedang berkunjung untuk mengembalikan barang(?) yang  ia pinjam kemarin.

(B/N) meminta keluarga Bakugo untuk ikut makan malam di rumahnya "Maaf, meski rumahnya agak sempit. Tapi terimakasih sudah menerima ajakkan saya!" Kata (B/N) malu sendiri. "Tidak apa-apa." Jawab Ibu Bakugo sambil tertawa.

"Kau, juga diterima?" Tanya Bakugo (Name) hanya mengangguk "Apa-apaan hanya mengangguk seperti itu!?" Kesal Bakugo.

Terkejut (Name) langsung meminta maaf "Maaf, aku hanya sedang memikirkan sesuatu... Maksudku seseorang- Ano..." (Name) kebingungan karena sikap Bakugo yang seperti ini.

Memang kalau Bakugo itu orangnya tempramen, kasar, menyebalkan, emosian, dkk. Tapi dia tidak pernah Semarah ini pada (Name). Benar, dia sedang marah.

"Sudahlah Katsuki. Cepat habiskan makananmu!" Kata ibu Bakugo.

"Iya, iya!" Jawab Bakugo. Biasanya Bakugo akan memanggil ibunya dengan sebutan 'Mak Lampir' atau 'Nenek Tua'. Tapi dalam jawaban barusan tidak ada sebutan tersebut.

Bakugo sedikit menggeser kursinya menjauhi (Name). Sadar Bakugo menjauh (Name) menjadi canggung. "Ada apa dengannya? Tidak, ini bukan tentangnya. Pasti masalahnya ada di diriku. Kenapa dia menjadi seperti ini, pasti karena aku." (Name) menghela nafas berat dan melanjutkan makannya 'Maafkan aku Bakugo!'.
         
     ................................................

Setelah keluarga Bakugo pulang, (Name) segera masuk ke dalam rumah. Sebelum itu "Kau bertengkar dengan Bakugo- ah, bukan, kau ada masalah apa dengannya?" (Name) menelengkan lehernya "Bakugo itu anaknya rame, sejak datang ke rumah tadi sampai pulang dia hanya diam saja. Bahkan dia menggeser kursinya, ada apa?".

"Kak (B/N), kau peka? Kesambar apa?" Kaget (Name) keceplosan. "Apa maksudnya coba?" Kata kakak nya yang lagi-lagi merasa tertusuk di dadanya "Anu..." (Name) mengalihkan pembicaraan "... sebenarnya, dia sudah seperti itu sejak hari kelulusan. Aku juga belum mengerti kenapa dia seperti itu." Kata (Name) gugup.

"Oh, iya. Kau bilang tadi sedang memikirkan sesuatu, apa itu?" Tanya (B/N) curiga. "Anu, ini tentang pesan tadi." Kakaknya mencoba mengingat.

"Yang mana? Sebab yang membuat hampir ditolak?" Ceplos kakaknya "Ya, peka lagi!" Balas (Name) 'sakit woy!' batin (B/N). "Aku masih merasa kesal pada orang yang ku 'serang' itu. Tapi aku malah hampir ditolak karena keputusan ku itu. Tapi aku juga berhutang Budi padanya karena menyelamatkan aku." Jelas (Name) singkat.

"Aduh, (Name). Sudah berapa kali kubilang?! Jangan mengambil keputusan dalam keadaan sedang marah. Lalu apa kau sudah berterima kasih padanya?" Protes (B/N).

"Wah, lupa tuh!?" jawab (Name) teringat bahwa dia hanya berterima kasih pada Recovery Girl saja. "Dasar! Lain kali kalau bertemu segera katakan terimakasih!"
   ~.

Di tempat lain, Bakugo berusaha menenangkan diri dan menyamankan perasaannya. Tanpa disadari, Bakugo sebenarnya menguping pembicaraan kakak-adik tadi. Setidaknya dia merasa lega karena tahu masalah yang dipikirkan (Name).

Di kamarnya ia langsung tidur dengan senyum tipis di bibirnya.

Blocking (Tidak Dilanjutkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang