Day 1

22 3 0
                                    


2 hari yang lalu.

"Tancap gas Jar!" Teriak Cakra kegirangan, Fajar siap dengan kemudinya.

"Let's go!" Jingga tak kalah girang, akhirnya keinginan Jingga untuk pergi berlibur bersama geng semesta terkabulkan. Cuaca bersahabat, cerahnya pagi kota Bandung menggiring mereka kekota Garut.

Sengaja berlibur ke kota yang paling dekat, mereka hanya memiliki waktu 3 hari saja. Karena semester baru dimasing-masing kampusnya sudah akan dimulai. Cakra, Fajar dan Mentari kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Bandung. Sedangkan dua sejoli Sam dan Jingga sengaja masuk kampus yang sama, enggan terpisah katanya, mereka masuk kampus swasta di Bandung.

Disepanjang jalan mereka bernyanyi riang, teriak-teriak, melepas kepenatan kehidupan mereka yang akan segera mengakhiri masa perkuliahan. Satu album lagu Sheila on seven tak cukup membuat suara mereka habis dan kelelahan, mereka terlalu senang bisa menghabiskan waktu berlima setelah sekian lama.

Akhirnya mereka memasuki kota Garut, gedung-gedung dan hingar bingar Bandung berganti menjadi kebun dan rumah-rumah sederhana, jalanan semakin tajam dan berkelok, suhu udara-pun semakin sejuk.

Dibukanya kaca mobil, udara disini benar-benar sangat segar. Angin yang terhempas laju mobil menerpa wajah Mentari yang merasa sangat bahagia, terutama ketika melihat Cakra sangat asik bernyanyi didepan sana. Tak apa jika dia harus melihat dua sejoli disampingnya menempel seperti prangko, cinta-cintaan seperti biasa. Sedangkan ia harus memendam rasa pada sosok Cakra yang kata orang tak akan pernah mencintai Mentari. Ya, mereka hanya bersahabat tak akan menjadi lebih.

Mobil terparkir didepan rumah penginapan berwarna putih berpadu dengan warna abu-abu. Rumahnya megah dibandingkan dengan rumah-rumah disekitarnya. Pohon-pohon kecil berjajar dihalaman, juga satu pohon besar lengkap dengan ayunan beralas kayu.

"Akhirnya sampe juga, kita gak langsung ke pantai aja?"

"Nanti lah sayang, besok lagi," ujar Sam sembari menurunkan barang-barang dari bagasi.

"Iya Jingga, kita istirahat dulu, abis itu main di daerah sini aja, ada pemancingan disana, nanti kita bakar ikan oke?" Ajak Fajar yang sudah beberapa kali ketempat ini. Penginapan ini milik saudaranya, ia diperbolehkan kapan saja menginap disini.

"Iya ga, yuk masuk," ajak Mentari, sembari menarik Jingga yang sedikit cemberut.

Setelah barang-barang semua diangkut kedalam, mereka menentukan kamar masing-masing.

"Jam 3 kita kumpul lagi, kita mancing didekat perkampungan."

"Siap Bro!"

Mereka berpisah ke kamar masing-masing untuk tidur atau hanya sekedar merebahkan badan yang pegal karena duduk didalam mobil berjam-jam. Waktu terus bergulir, Mentari sudah mulai kesal berdiam diri dikamar. Ia memutuskan keluar kamar, melihat-lihat, lagi pula tinggal 30 menit lagi waktu istirahat akan berakhir.

Mentari membuka pintu, terlihat Fajar sedang sibuk diruang tamu.

"Lagi apa Jar?" Fajar sontak kaget melihat Mentari tiba-tiba ada dihadapannya. Lalu Fajar menyembunyikan sesuatu dipunggungnya.

"Apa itu?" Tanya Mentari heran.

"Gak apa-apa, kepo!"

"Apa Jar, gue mau tau...sini sini," Mentari menarik baju Fajar memaksa ingin melihat apa yang disembunyikan Fajar. Benda itu terjatuh dari tangan Fajar. Sebuah kado berwarna biru yang entah berisi apa, tergeletak dilantai.

"Oh buat ulang tahun Jingga, pake disembunyiin segala," Mentari mengambilkan kado itu lalu memberikannya pada Fajar yang masih memasang wajah kagetnya.

"Hehe iya," Fajar mengangguk. Lalu mereka berbincang diruang tamu, menunggu waktu. 30 menit berlalu.

"Kumpul semuanya!" Teriak Fajar sembari menepuk-nepukan tangan. Semuanya siap untuk berjalan-jalan diperkampungan menuju tempat pemancingan. Alat pancing sudah Fajar siapkan, makanan ringan juga sudah dibawanya.

Mereka berlima benar-benar merindukan udara sesegar dikampung ini. Banyak sawah dan perkebunan. Banyak petani paruh baya berlalu lalang. Kakek-kakek memanggul rerumputan yang mungkin buat makan kambing atau sapi. Nenek-neneknya menggendong hasil tani lain seperti terung, labu dan banyak lagi. Mereka semua terlihat sangat sehat, berjalan jauh sembari tersenyum dan tertawa, terlihat jelas rasa syukur diwajah mereka.

Kelima sahabat itu berbalas senyum dengan beberapa petani paruh baya itu. Benak Mentari dipenuhi banyak harapan, tentang dia dan keempat sahabatnya bisa bersama sampai tua. Rasanya ingin bersama selamanya, tertawa dan bahagia bersama.

Sampailah mereka ditempat pemancingan. Fajar dan Cakra siap dengan alat mancingnya, sedangkan Sam memutarkan lagu dengan speaker yang dibawanya. Mentari dan Jingga jelas hanya berfoto-foto. Pemandangannya sungguh indah, kampung ini ada didaerah perbukitan, tentu saja kota garut terlihat luas di atas sini.

"Waaahhh dapet nih!"

"Tarik Cakra tariiiiik!" Teriak Sam yang segera berlari menghampiri Cakra.

"Cepet cepet, nanti lepas." Jingga tak kalah gemas melihat Cakra dan Sam heboh menarik dan memutar pancingan. Suasana semakin riuh, teriak sana sini, kegirangan. Mereka benar-benar sedang berbahagia.

Diluar dugaan, hasil pancingan sudah banyak diwaktu singkat. Kelima sahabat itu kembali kepenginapan. Segera membuat api dari kayu-kayu yang dipungutnya dijalanan. Nasi dan lauk yang lain sudah disiapkan Jingga, hanya tinggal menunggu ikan masak.

Matahari bersiap terbenam, beruntung sore ini hujan tidak turun, bahkan indahnya senja menyapa mereka. Sembari menunggu ikan bakar, mereka bernyanyi riang. Hanya Cakra saja tiba-tiba menghilang.

Mentari tau, ini waktunya Cakra menghilang ditengah keramaian mereka. Meski selalu mengerti dan membiarkan Cakra sendiri, kali ini Mentari ingin menghampirinya, mendengarkannya jika ia sedang ingin berkeluh kesah.

Mentari menghampiri Cakra di belakang penginapan, terlihat laki-laki itu sedang menikmati indahnya senja sendirian. Tidak ada air mata seperti yang pernah mentari lihat ketika Cakra memisahkan diri. Kali ini wajahnya sangat berseri, tersenyum pada langit yang seolah menyapanya dengan kehangatan.

"Cakra?"

"eh Ri. Udah mateng ikannya?" Mentari menggeleng. Dia tak menanyakan apapun dan tak mengatakan apapun lagi. Dia hanya berdiri disampingnya, menemaninya. Suasana hening, mereka berdua hanya menikmati senja.

Kali ini Mentari tak ingin menebak apa yang sedang Cakra pikirkan, seperti yang selalu ia lakukan ketika diam-diam memperhatikan Cakra dari kejauhan. Jika ada yang bertanya siapa yang paling bahagia hari ini, jawabannya adalah Mentari. Alasannya ada diujung sore ini, karena untuk pertama kalinya ia berani menghampiri Cakra, menemaninya meski tanpa bicara. Ini lebih dari cukup baginya.

"Cakra, Mentari!" Teriak Jingga dari halaman depan. Memecahkan keheningan. Memberi tahu- makanan siap disantap.

***

Luka SemestaWhere stories live. Discover now