Hujan kesedihan

20 2 0
                                    

Syukur ambulan cepat datang dan membawa mereka ke rumah sakit terdekat. Dokter dan suster sigap memeriksa keadaan mereka, hingga akhirnya kabar duka disampaikan dokter.

“Maaf, pasien atas nama Samudra Febrian tidak bisa kami selamatkan.”

Satu kalimat yang menghancurkan kehidupan jingga seketika. Satu kalimat yang juga mengubur segala mimpi dan harapannya. Satu kalimat yang membuatnya merasa bersalah pada kekasihnya yang kini pergi untuk selamanya.

Kali ini liontin itu kembali bersama jasad kekasihnya. Memori menyakitkan sepuluh tahun silam kembali diputar. Liontin yang berlumuran darah itu digenggamnya, diremasnya, menahan amarah pada diri sendiri. Untuk apa liontin itu kembali, jika harus bertukar dengan nyawa Sam? Pikirnya menyesal.

Mentari dan jingga hanya bisa menangis dimasing-masing pelukan. Satu sahabatnya telah pergi untuk selama-lamanya. Sedang dua sahabat lagi masih tak sadarkan diri.

Rekaman indah tentang mereka berlima terputar dibenak masing-masing. Tentang canda dan tawa mereka, tentang kesedihan yang selalu dihadapi bersama, dan segala macam yang ada di dunia ini selalu dinikmati bersama. Tak pernah mereka bayangkan akan terjadi hal semenyakitkan ini.  Kebersamaan mereka bersama Sam harus terhenti sampai hari ini.

Jingga terduduk diruang tunggu, air matanya tak ingin lagi keluar. Ia menatap kosong langit-langit rumah sakit, ada wajah sam yang dilukis ingatannya disana.

Tubuhnya lemas tersandar pada kursi. Kakinya telanjang, entah sejak kapan ia tak memakai alas kaki.

Tiba-tiba ia teringat dengan hadiah ulang tahun yang diberikan sam, yang akan menjadi hadiah terakhir dari sam untuknya. Ia mengambil hadiah itu didalam tasnya yang baru saja diantar oleh pelayan restoran ke rumah sakit.
Kotak kecil berwarna oranye itu dihiasi pita dengan warna senada. Dibukanya pelan. Terdapat kotak perhiasan berwarna merah didalamnya, lengkap dengan cincin bermata satu yang sangat berkilauan.

Nafas jingga terisak tak beraturan. Bibirnya digigit setengah, menahan rasa sakit, seolah sebilah pedang tertancap didadanya. Pikirannya ditarik mundur pada kenangan ketika Sam mengajaknya untuk menikah muda. Ia bahkan berkuliah sambil bekerja demi menabung untuk biaya pernikahan. Mimpinya bukan main-main, ia sungguh ingin menikahi jingga setelah wisuda.

Cincin itu yang dijanjikan Sam sebagai cincin tunangan. Ia berjanji akan melamar jingga di semester akhir masa perkuliahan. Hanya tinggal menghitung bulan, jika Tuhan mengijinkan mimpi itu terwujud. Tapi sayangnya tidak, mimpi itu hancur tanpa sisa.

Tuhan, terimakasih pernah mengirimnya dalam hidupku, membiarkannya melengkapi hidupku. Dia sungguh orang yang baik, kumohon tempatkan dia ditempat yang baik pula. Tuhan, sampaikan salam sayangku padanya, aku akan berusaha sebaik mungkin menjadi pribadi yang lebih baik meski tanpanya. Katakan padanya, aku mengikhlaskannya karena Kau yang menginginkannya. Aku percaya, tangan-Mu tak pernah salah menurunkan segala takdir pada hidup manusia. Aku tau Kau bisa dengan mudah membolak-balikan perasaan dan kehidupan manusia, maka aku percaya, karena-Mu pula aku bisa menjalaninya.

***

Sedangkan ditempat lain, sosok mentari berada didepan meja administrasi, berdiri kuat-kuat dengan wajah pucat. Ia diminta mengurus pemulangan almarhum Sam, dan pemindahan rawat Fajar dan Cakra ke Bandung. Wanita itu mengisi beberapa berkas dengan tangan masih gemetar, sesekali tangan yang lemah itu mengusap pipinya, menghilangkan air mata kesedihan yang terus bercucuran.
Gadis itu sangat kumal dengan bercak darah memenuhi pakaiannya. Darah yang menempel selepas memeluk Cakra dijalanan tadi tak sempat ia ganti. Kelopak matanya terkulai, menatap kosong setiap orang yang berlalu lalang disekitarnya. Dunia terasa asing, tak ada seorangpun yang memeluknya dan menenangkan hatinya.

Ia sudah mengabari semua orang di Bandung dengan suara tersekat-sekat, hatinya terlalu sakit untuk menjelaskan apa yang terjadi. Telah sampai ditelinga mereka tentang kabar mengejutkan dari garut. Suara mereka sama tersekat, orang-orang yang menunggu anak masing-masing kembali ke rumah itu mendapati kenyataan pahit.

Entah berapa kali kata maaf yang Mentari layangkan via telphon, ia benar-benar tak bisa membawa pulang Sam dengan selamat. Ia juga tak bisa membawa Fajar dan Cakra penuh keceriaan setelah berlibur bersama.

Sembari menunggu segalanya diurus, dan beberapa anggota keluarga datang ke garut, mentari menghampiri Cakra yang terbaring diruang UGD. Cakra mengalami luka lecet dan lebam dihampir seluruh tubuhnya. Tulang dikakinya rapuh.. Wajahnya dipenuhi luka goresan pecahan kaca mobil. Beruntung cakra hanya mengalami luka ringan, tapi hingga saat ini ia belum juga sadarkan diri.

Mentari duduk disamping Cakra. Menarik nafas dalam-dalam, lalu membuangnya keras-keras. Ia berusaha menenangkan hatinya sendiri. Degupnya masih saja tak beraturan, tubuhnya masih saja gemeteran, rasa takut terus ada dibenaknya. Ia tak ingin Fajar dan Cakra menyusul Sam ke surga.

“Cakra, bangun dong.” Mentari merintih. Ia kelelahan, energinya habis oleh tangis dan segala kesedihannya. Ia terus memandangi wajah Cakra untuk memastikan Cakra membuka mata. Diusapnya rambut Cakra yang sedikit gondrong, sembari menggenggam tangan Cakra penuh kasih sayang.

Jam ditangannya sudah menunjukan pukul 12 malam. Ia masih setia duduk disamping cakra, meninggalkan jingga diluar sana yang enggan beranjak. Sedang Fajar masih belum bisa dibesuk, ia masih diruang ICU, dokter mengatakan ada benturan keras didadanya yang menyebabkan selaput paru-parunya sobek. Entah apalagi, Mentari tak menangkap semua yang dikatakan dokter karena riuhnya pikiran.
Cakra membuka matanya pelan. Pandangannya kabur, perlahan jelas, bahwa yang dilihatnya adalah Mentari. Ia memanggil lirih.

“Mentari?”
“Iya gue disini, Kra.” Mentari membelalak, genggamannya semakin erat.
“fajar sama Sam mana?” Tanya Cakra. Mentari memikirkan sesuatu untuk menjawabnya, entah harus mengatakannya atau tidak. Banyak kekhawatiran dibenaknya.
“Ada diruang sebelah, lo tenang aja ya.”
“gue harus pastikan mereka baik-baik saja.” Ia berusaha bangkit dari tidurnya.
“Besok lagi ya, Kra.”
“Sekarang, Tari!” Ucap Cakra sedikit menyentak, menepis tangan dari bahunya.
“Cakra, dengar, lo harus tabah, lo harus ikhlas,” Mentari menelan ludah sebelun melanjutkan pembicaraannya, “Sam, sudah tidak ada.” Tepat didepan wajah Cakra, Mentari menyampaikan kabar duka padanya.
“Maksud lo, Ri?” Cakra tarkaget-kaget mendengarnya. Seketika ia berteriak, memaki dirinya sendiri.
“ini salah gue! Cakra goblok! Ga becus nyetir! Ini salah gue!” Cakra berusaha turun dari tempat tidur, rasanya ingin berlari menghampiri kedua sahabatnya yang menurutnya  terluka gara-garanya.
“Cakra! Cakra! Jangan gitu!” Mentari mencoba menenangkannya, menahannya agar tidak beranjak dari tempat tidur. Selang infuse yang menempel dilengannya terlepas begitu saja. Matanya memerah, teriakannya semakin kencang, bahkan luka-lukanya tak ia rasakan, ia hanya ingin menemui Sam.

Dokter berlarian masuk,  langsung menyuntikan sesuatu dilengannya, sedang beberapa suster menahan amukan Cakra. Perlahan cakra mulai tenang. Direbahkan kembali tubuhnya ketempat tidur, lalu matanya tertutup lagi. Mentari hanya bisa menangis menyaksikan kejadian itu. Ia hanya menutup mulutnya, menahan jeritan yang sebenarnya ingin keluar ketika melihat Cakra tersiksa.
“Maaf untuk mengatakannya terlalu cepat, maaf.”

***

Luka SemestaWhere stories live. Discover now