Mengantar Sam Pulang

51 4 0
                                    

Pagi menuju siang, matahari sudah menyerang terik, seolah ingin mengeringkan tetesan kesedihan yang sedang terjadi di bumi. Payung-payung berjajar melindungi orang-orang yang sedang berduka. Terdengar suara isak tangis dibalik suara ustad yang sedang melafadzkan do'a.

Tangan Mentari merangkul Jingga yang tak kuasa melihat Sam dimakamkan siang ini. Lalu dihapusnya air mata Jingga yang terus berlinangan, sesekali menghapus air matanya sendiri.

Mentari menoleh kebelakang, matanya berputar-putar menyisir orang-orang yang berkerumun, mencari sosok Cakra yang tiba-tiba hilang dari dekatnya. Dalam hatinya bertanya-tanya, apa Cakra pergi? Tak kuasa melihat sahabatnya terkujur kaku didalam sana? Mentari khawatir, Cakra akan terus menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Sam.

"Ga, lo disini dulu ya, gue cari Cakra." Mentari memberikan payung yang dia genggam kepada Jingga, lalu menuju ke arah belakang kerumunan.

Gadis itu tak menemukan Cakra didekat kerumunan. Setelah berputar-putar, terlihat seseorang sedang berada disebuah makam diujung pemakaman. Jaraknya cukup jauh. Mentari menghampiri tempat dimana seseorang itu terlihat.

"Cakra?" Mentari mendekat. Cakra menengadah melihat wajah Mentari yang bercahaya dibawah sinar matahari. Cakra berlutut satu kaki, sembari menahan pada tongkat yang ia pegang kuat-kuat, sedang kaki kanannya ia luruskan kedepan. kakinya belum bisa ia tekuk, ada banyak luka disana.

Mentari ikut berlutut didepan makam ibunya Cakra. Tangannya merangkul Cakra, mencoba menenangkan hatinya.

"Setahun yang lalu ibu pergi, Ri, tahun ini Sam yang pergi," matanya berkaca-kaca sembari terus mengusap batu nisan ibunya.

"Mereka sudah tenang disana Kra."

"Gimana kalau mereka gak tenang, Ri? Ibu sama Sam pergi gara-gara gue."

"enggak Kra, ini udah takdir. Dengerin gue," Mentari menarik Cakra agar mau melihat matanya dan mendengar ucapannya, "lo gak salah apa-apa, Allah sudah mengatur semuanya, Cakra, lo harus kuat, lo do'ain mereka agar tenang di alam sana, ya?" Cakra mengangguk lalu menyeka air matanya. Mentari melihat wajah sahabatnya penuh luka sayatan kaca. Cakra terus merasa sedih hingga lupa bahwa kemarin ia juga terluka.

Mentari mencoba menjadi terkuat diantara sahabat-sahabatnya. Tapi ia tak bisa lagi menahan tangis melihat Cakra sangat menderita. Dirabanya luka-luka diwajah Cakra lalu mereka menangis dimasing-masing pelukan.

Cakra seharusnya merasakan bahwa Mentari sangat mencintainya. Seharusnya Cakra sadar, begitu hangat peluknya, begitu terluka hatinya melihat laki-laki yang dicintainya sangat tersiksa.

Kedua sahabat itu bangkit dari duduknya, menghampiri pemakaman Sam yang hampir selesai. Lalu ikut berdo'a dengan khusuk.

Setelah selesai satu persatu langkah kaki meninggalkan tempat ini, tersisa hanya Mentari, Jingga dan Cakra, seolah ingin berkumpul dan saling bicara, seperti yang selalu mereka lakukan.

"Sam, maafin gue, gue janji bakal jagain Jingga, Mentari juga Fajar." tak banyak yang cakra ucapkan, ia hanya terus berdiam, mencoba meredakan amara dan kesedihan yang menyerangnya bersamaan.

"Sam, Sam." Jingga terus memanggil nama Sam lirih, hatinya berat untuk mengikhlaskannya. Jingga berkali-kali menyadarkan dirinya sendiri bahwa kekasihnya kini sudah pergi untuk selama-lamanya. Tapi hatinya tak ingin memercayai kenyataan yang menyakitkan itu. Rencana nikah muda mereka harus Jingga kubur dalam-dalam.

"Kita pergi ya? Kita harus lihat Fajar di rumah sakit." Ajak Mentari. Mereka kembali kedalam mobil, lalu meluncur menuju satu sahabatnya lagi yang sedang memperjuangkan hidupnya.

***

"Gimana Fajar tan?" Tanya Mentari pada tante Susi yang sedang berdiri didepan kaca, memandang lekat-lekat wajah anaknya yang terbaring didalam sana.

"Belum ada perkembangan, Ri. Gimana keadaan mamanya Sam?"

"Gak apa-apa ko, tan, tante yang sabar ya, Fajar pasti pulih kembali." Tante Susi mengangguk, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Terlihat keresahan diraut wajahnya, ia menanti anaknya kembali membuka mata.

Cakra dan Jingga duduk dikursi, saling diam, pikirannya melayang pada masing-masing kesedihan. Keduanya merasa bersalah pada apa yang terjadi kemarin.

Tante susi menghampiri Jingga dan Cakra, duduk ditengah mereka, "Jingga, Cakra, apa yang menimpa Fajar dan Sam bukan salah kalian, ini sudah ditakdirkan Tuhan, kita harus sama-sama menguatkan, ya? Jangan terus menyalahkan diri kalian. Janji sama tante ya?"

Mentari hanya tersenyum, haru, karena tante Susi bisa dengan lapang menerima kenyataan anaknya tergulay tak berdaya didalam ICU. Tante Susi tak menyalahkan siapapun, bahkan anaknya sendiri yang bersikeras untuk pergi berlibur ke garut bersama sahabat-sahabatnya.

"Oh iya, dikamar Fajar ada box biru di rak buku paling atas, kalian ambil saja, ada om dodi."

"Box biru?" Tanya Jingga.

"Iya, gak tau kenapa, sebelum Fajar pergi ke garut, Fajar bilang sama tante, kalau box itu sangat berarti buatnya, Fajar bilang yang boleh lihat box itu cuma kalian."

"Box apa ya?" Tanya Mentari pada Cakra yang mungkin saja tau. Tapi Cakra hanya menggelengkan kepala.

"Tante juga penasaran, kalian bawa saja dirumah, Fajar bilang dia tidak tau kapan harus dikasih kekalian, makanya tante kasih tau kalian sekarang."

"Iya tan. Besok kita ambil, aku mau anter Jingga pulang, dan Cakra juga harus istirahat."

"Iya, sayang, kalian pulang ya, nanti tante kabarin kalau Fajar sudah siuman."

***

Setelah mengantar pulang Jingga, Mentari mengantar Cakra ke kosannya. Hari ini Mentari benar-benar berperan dengan baik menjadi penguat diantara hati-hati sahabatnya yang rapuh. Kerja bagus Mentari, ujar hatinya yang terus mendukungnya untuk tetap kuat.

Diparkirkannya mobil yang Mentari pinjam dari ayahnya didepan kosan Cakra. Mereka lalu masuk ke dalam kosan dilantai atas. Duduk disofa menghadap jendela besar menatap kenting-kenting rumah. Sofa ini sengaja disimpan didepan jendela, untuk Cakra bersantai melihat pemandangan sore.

Cakra tidak tinggal bersama ayahnya sejak ibunya meninggal setahun yang lalu. Bukan tak khawatir dengan kondisi ayahnya setelah ditinggal ibu, tapi ayahnya masih memiliki istri muda, beserta anak-anaknya. Cakra akan merasa asing jika diajak ayahnya tinggal bersama ibu tirinya.

Dia cukup menderita tahun lalu, tak menyangka ia juga semenderita ini ditahun ini. Padahal setahun kemarin Cakra selalu dibayang-bayangi rasa bersalah pada ibunya.

Mentari khawatir jika tahun ini Cakra dihantui rasa bersalah pada Sam. Cakra memang sosok yang periang, humoris dan tak pernah terlihat sedih didepan banyak orang. Hanya Mentari yang mengetahui kesedihannya disaat Cakra sedang sendiri. Cakra kerap menyendiri setiap sore menuju magrib, kerap memisahkan diri jika sedang berkumpul dengan teman-temannya.

" Lo istirahat ya, makanan ini gue simpen dimeja, gue pulang ya."

Cakra mengangguk lalu berbaring disofa, diselimuti Mentari seluruh tubuhnya. Mentari pergi dengan rasa ragu.

Cakra, percayakan pada Tuhan tentang apa-apa yang kau ragukan di dunia, percayakan juga padaku bahwa aku mampu membagi hidupku untuk membuatmu baik-baik saja. Cakra, aku akan membuatmu merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, bukan kepalsuan yang selalu kau perlihatkan pada banyak orang, tentang senyum yang sebenar-benarnya kesakitan, tentang tawa yang kulihat adalah jeritan, tentang kelucuan yang kau usahakan untuk menyembunyikan dirimu dari penyesalan.

Cakra bersinarlah lagi, jangan tenggelamkan dirimu dilautan penyesalan yang sesungguhnya tak harus ada. Kau bahkan tak mau percaya pada dirimu sendiri bahwa kau tak melakukan kesalahan apapun. Kau hanya perlu menyayangi mereka dari jarak sejauh ini, dengan terus mengirimkan do'a agar mereka bahagia diatas sana.

***


Luka SemestaWhere stories live. Discover now