Pagi ini, aku sengaja bangun lebih awal. Rencana matang yang telah kupikirkan, akan ku eksekusi hari ini.“Aku mau masak nasi goreng. Nasi goreng spesial!” aku tertawa bak penyihir jahat di film-film.
“Loh, Non Olin tumben sudah bangun?”
“Iya, Mbok! Sengaja, mau masakin suami dan selingkuhannya.” jawabku santai sambil mengedipkan mata kiriku. Seolah paham, Ia lalu cekikikan sendiri.
“Selesai!” teriakku kegirangan. Aku pun menyiapkan mangkok besar untuk menempatkan nasi gorengku. Menempatkan telur mata sapi di piring dan menatanya di meja.
“Makan mas Miko! Mas! Mas Miko! Makan! Makan!” aku menggedor pintu kamar mas Miko dengan cukup kencang.
“Ihhhh! Apa-apaan sih kamu?” muka mas Miko berantakan.
“Makan dulu, Mas. Nanti telat kerja loh.”
“Hihh! Iya iya sebentar!” mas Miko berjalan menghampiri wanita yang kini tengah tidur pulas dengan gaun malam berwarna pink itu. Norak!
“Sayang, bangun. Sarapan!”
“Hhhhh.. Iya, sayang.” Ia mengucek matanya sebentar, lalu bangkit mengekor mas Miko. Aku berusaha tenang. Sikapku tak mencurigakan sejauh ini. Aman!
“Ini, Mas.” aku mengambil satu sendok besar nasi goreng, dan tak lupa menaruh cantik telur mata sapi di atasnya. Aku juga menuangkan air putih ke dalam gelasnya. Kurang baik apa coba?
“Lhoh, buat aku mana sayang?” Ratna cemberut, bibirnya manyun seperti bebek. Kukucir juga mulutmu!
“Nih!” kubanting piring beserta nasi goreng buatanku diatas meja.
“Ya ampun, Mas. Pembantumu nih, kerjanya gak bener! Ceraikanlah saja!” Ia memegang lengan mas Miko berharap mendapatkan pembelaan, namun sayang usahanya gagal kali ini. Mas Miko tampak tak peduli. Fokusnya kali ini hanya memakan nasi gorengku.
“Gundulmu!” jawabku sewot, Ia diam seketika.
“Uhmm.. Enak juga. Siapa yang masak?”
“Aku!”
“Lumayan. Katanya kamu gak bisa masak?” lalu dengan lahap memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Haapp!
“Nasi goreng mah kecil!”
“Kamu gak makan?”
“Gaklah. Aku lagi diet!” kataku singkat.
“Ehheemm..” Ratna meminta perhatian.
“Kenapa sih, sudah sana makan makananmu.” perintah mas Miko, lagi-lagi Ratna cemberut. Sedikit emosi, Ia memasukkan makanannya ke dalam mulutnya itu.
“Tuuuuuttttt!”
“Ihh, kamu kentut, Mas?” kututup hidungku rapat-rapat.
“Enggak. Kamu kamu yang kentut, yang?” seraya mengalihkan pandangannya ke Ratna. Ia menggangguk menahan malu. Iyuh!
Setelah selesai mas Miko mengelus-elus perutnya kekenyangan. Perutnya kini melembung, namun tiba-tiba Ia mengeluh..
“Perutku kok mules. Aduh!” raut wajah mas Miko tampak begitu kebingungan. Ia pegangi perutnya dengan erat.
“Sama aku juga yang!” timpal si wanita sundel itu.
“Aku kebelet!!”
“Sayang! Tunggu!” mereka berdua terbirit-birit berlarian ke kamar. Ya kemana lagi, ke kamar mandi tentunya. Hahahaha rasakan!
“Apa yang kamu masukkan ke dalam nas…”
“Iya, Mas? Kenapa?” Ia menatapku keheranan karena kini aku juga tengah menyantap nasi goreng di meja makan namun keadaanku baik-baik saja.
“Kenapa, Mas?” sambil terus mengunyah nasi itu lembut. Sebenarnya aku kini sedang menahan tawa.
“Katanya kamu mau diet?” kakinya menyilang menahan mules perutnya.
"Pengen sih!"
“Aduh!! Ratna buruan!! Ratna!! Gantian!!” Ia kembali berlari ke kamar mandi.
“Enak gak, Mas nasi gorengku?” hihihi.
___
“Mbok! Mbok Asih! Kenapa kemejaku bolong semua ini?” aku cekikikan sambil berlari membawa setrikaan.
“Mbok sepatuku kemana sih, kok tinggal kiri semua begini?” aku kembali cekikikan, memandangi semua sepatu kanan mas Miko di kamar.
“Mbok Asih! Kalo ngepel yang bersih! Lantainya masih licin, saya jadi kepleset!” enak gak terjengkang, Mas?
“Mbok! Mbok Asih! Siapa yang taruh mainan uler-uleran di tas kerjaku! Bikin kaget aja. Mana kagetnya di meeting pulak.” batinku puas sekali!
“Mbok Asih! Ada kecoak di kamarku! Huahhh!!” aku berguling-guling di lantai.
“Cowok payah!”
“Iya! Iya! Semua ulahku!”
“Jadi kamu!” napasnya mendengus, wajahnya menyeringai ganas sambil melotot pedas.
“Iya, kenapa?” jawabku santai.
“Kamuuuuu!!!”
“Apa? Kamu mau apa? Hah? Tampar aku, Mas! Tampar! Atau kamu akan mendorongku jatuh ke lantai? Dorong cepat! Ayo dorong aku!”
“Arrrggggggh!!” Ia membalik tubuhnya lalu memukul sofa dengan kencang hingga aku sempat terperanjat.
“Balasanku ini belum seberapa, Mas. Ingat Allah tidak tidur. Kamu akan merasakan luka yang aku rasakan 1000x lebih sakit. Camkan itu!” aku berlari menuju kamar, menahan tangis yang seakan melompat dari mata besarku, namun tidak! Aku tidak lemah!
Dua hari berselang setelah kejadian itu, terjadi keributan besar antara mas Miko dengan Ratna. Ya! Sudah tiga hari Ratna tepatnya menginap disini, di rumah ini, satu kamar dengan suamiku. Tapi aku sih cuek, bodoh amat.
Malam itu, entah tengah meributkan apa, yang jelas teriakan mas Miko membuatku tak dapat memejamkan mata meski hanya sedetik. Terdorong penasaran yang teramat, aku pun mengendap-endap menguping di sela-sela turunan anak tangga.
“Uang! Uang! Uang! Aku sudah tidak punya uang, Ratna! Perusahaan bapak hampir bangkrut karena kamu! Aku harus banyak menutup biaya operasional kantor!”
“Lohh! Kok kamu jadi perhitungan gini sih, yang? Gara-gara pembantu bodohmu itu ya? Selama ini aku mau beli apa aja, kamu selalu iya iya-in aja tuh?” jawabnya dengan santai lalu menatap layar gawainya lagi.
“Ini ada diskon gede, sayang. Aku cuma butuh lima juta aja, kok. Katanya kamu juga mau jadi suamiku? Ya turutin dulu kemauanku! Lima juta doang, sayang.”
“AHHHHH! Bisa gila aku kalau terus-terusan sama kamu!”
"Aku sudah gak ada uang!"
“Emang enak?” sesaat perasaanku puas melihatnya hancur namun entah mengapa terselip rasa bersalah bercampur di dalamnya. Perasaan itu semakin nyata, kala kulihat Ia tampak lesu memandangi langit rumah sedangkan Ratna? Ahh! Dia tak peduli sama sekali.
“Mas, apakah kau baik-baik saja?”