2

1.3K 24 0
                                    


Dok! Dok! Dok!

“Hey! Bangun!”

"Bangun pemalas!" gedoran pintu itu seketika membangunkanku. Dengan lemas menahan kantuk, aku bangkit menuju pintu dan membukanya.

“AAAAAAAA!!!!”

“Aaaaaaaaaaa!” aku pun ikut kaget.

“Apa-apaan kamu! Mau buat aku mati jantungan ya!”

“Astagfirullah! Ada apa, Mas?” balasku ketakutan melihat ke semua sisi tubuhku.

“Lihat wajahmu, Bodoh! Buatkan aku sarapan. Cepat!” Ia pun berlalu dari pandanganku, menuruni tangga.

Terhanyut dalam kesedihan semalam, membuatku seakan lupa bahwa aku sudah menjadi istri. Aku pun berlari menuju kamar mandi, dan segera membersihkan tubuhku, tak lupa menghapus sisa riasan kemarin. Pantas saja Ia berteriak, rupanya maskaraku mbleber ke mana-mana.

Setelah menyisir rambut pendekku, dengan ragu-ragu kulangkahkan kaki menuruni anak tangga mencari ruangan memasaknya. Mataku terus menyusuri rumah megah itu dengan seksama, pintu kamar berjejer bak hotel padahal yang kutahu penghuninya hanya ada tujuh, yaitu aku, Miko, dan sisanya pembantu-pembantu rumah.

Mata ini lalu terhenti, melihat sosok mengerikan itu kini tengah bersantai sambil membaca koran di sofa empuknya. Kuberanikan diri menghampiri laki-laki yang konon adalah suamiku itu.

“Dapurnya dimana?”

“Tuh!” Ia mengangkat dagunya tanpa ekspresi, menunjuk sebuah ruangan di sebelah sisi kanannya lalu kembali asyik membaca. Tanpa berlama-lama, aku pun mengikuti petunjuk darinya.

Ahhh syukurlah, ada mbok Asih disitu. Ia tengah sibuk menggoreng telur di dalam pan penggorengan. Baunya, sedap sekali. Aduh, bisa apa aku? Masak air saja aku gosong.

“Mbok Asih? Ada yang bisa kubantu?” menyadari kehadiranku, Ia menoleh dengan cepat. Senyum manis pun tersungging di bibirnya.

“Ehh, Non Olin. Ndak usah. Semua sudah selesai kok, Non. Nasi goreng juga sudah siap.” katanya lalu kembali menatap telur masakannya.

“Aku tadi disuruh masak, Mbok, tapi aku gak bisa masak.” wajahku kutekuk berlipat-lipat. Ia menoleh sesaat lalu terkekeh kemudian.

“Tenang, nanti mbok ajarin, Non.”

“Benar?”

“Iya, Non.”

“Mbok, boleh aku bertanya sesuatu?”

“Monggo, Non. Silakan.”

“Miko itu kerja apa sih Mbok?” kataku yang dengan santai mengublek-ublek nasi goreng yang wanginya naudzubillah itu.

“Sekarang den Miko menggantikan tuan besar di perusahaannya. Ad-ver….. Apa ya itu, yang iklan-iklan gitu lah, Non.” Ia meringis kecut. 

“Advertising maksudnya, Mbok?”

“Nah! Betul, Non.” kepalaku pun seketika manggut-manggut.

“Memangnya, kenapa, Non?”

“Ahh, iseng nanya aja, Mbok.”

Semua makanan telah siap. Aku membantu mbok Asih menata makanan di meja. Kini telah tersaji, nasi goreng dan telur mata sapi, uhmm.. wangi sekali. Tak sabar rasanya menyantap makanan lezat ini. Miko pun datang menghampiri meja.

“Ini kamu yang masak?” Deg! Aku pun terkejut dengan pertanyaannya.

“Bukan. Ini masakan mbok….”

Brrrrraaakkkk!!

“Aku suruh kamu yang masak tadi! Ngerti gak!” dengan mata melotot, jujur hampir membuatku mati jantungan. Aku diam.

“Ngerti gak!” nadanya kembali naik.

“Iyaa, Mas.”

“Apa aku gak bisa denger?” Ia menyodorkan telinganya ke hadapanku.

“Iya!” setengah emosi aku berteriak ke arahnya. Ia pun melengos, mengucek beberapa kali telinganya, lalu menarik kursi di depanku.

“Lagipula aku ini siapa buatmu, Mas?” seakan begitu saja pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Kutarik nafas dalam-dalam, mengatur emosiku yang naik turun.

“Kamu istriku, istri selinganku. Haha. Lagian aku gak terlalu tertarik pada wanita.” jawabnya santai sambil menyendok besar nasi goreng buatan mbok Asih ke dalam mulutnya yang mungil.

“What?”

Istri Selingan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang