Malam ini hatiku sungguh tak tenang. Dadaku bergemuruh hebat hingga mampu menghantarkan suasana perih bercampur emosi yang meluap. Terlintas di benakku, mereka berdua kini tengah bercumbu, bermesraan, dan ber... Ahh!
Membayangkannya saja membuat dadaku semakin sesak. Andai papah tahu bagaimana menderitanya aku disini, mungkin Ia akan berpikir 10000x untuk menikahkanku dengan mas Miko. Tapi gak! Aku gak boleh membuat hati papah khawatir!
Sebenarnya aku tak begitu peduli pada hubungan mereka, toh rasa kagum pada mas Miko nyatanya telah hilang entah kemana. Sikapnya yang kasar membuatku naik darah! Aku kesal, lantaran Ia kerap menginjak-injak harga diriku sebagai wanita. Memangnya dia siapa? Seenaknya saja memperlakukanku layaknya binatang. Padahal jelas-jelas aku istri sahnya!
Tok! Tok! Tok!
“Non? Non Olin? Ini mbok Asih, Non.” ketukan lembut itu membuatku terperanjat yang kini tengah berapi-api.
“Iya, Mbok. Tunggu.” aku bangkit, terseok-seok berjalan menuju pintu. Akibat terjengkal kali ini, pinggangku biru memar. Dan itu sakit sekali!“Non baik-baik saja kan?”
“Bagaimana bisa aku baik-baik saja, hatiku benar-benar terluka parah karena ulahnya, Mbok!”
“Mau simbok pijat?”
“Gak usah, Mbok. Udah Olin tempel koyo. Nih!” kataku lalu membuka sedikit bajuku ke atas. Tampak empat lembar plester berwarna putih tulang itu kini menghiasi pinggang mulusku. Aku meringis kuda namun Ia justru terkekeh.
“Duduklah, Mbok.” kataku perlahan meletakkan tubuhku. Mbok Asih menggeleng cepat. Dengan nyaman Ia duduk bersimpuh di lantai.
“Non, yang sabar ya?”
“Ahh!" Kutarik napas dalam-dalam, lalu seketika menghempasnya dengan kasar, menatap kembali mbok Asih yang menanti jawabku.
"Kalau aku gak sabar, mungkin hari ini aku sudah berkemas dan meninggalkan rumah, Mbok. Tapi buktinya sekarang? Aku masih menghargai mas Miko sebagai suamiku. Kasihan papah juga di rumah.”
“Non ndak kangen sama papah non Olin?”
“Kangen, Mbok. Kangen sekali. Tapi aku takut membuatnya khawatir.” bulir ini menetes hangat, tersadar, dengan cepat ku seka air mataku. Dan menghadapkan wajahku ke atas langit-langit kamar.
“Kalau sama mamahnya non Olin? Ndak kangen?”
“Mamah!”
Rekaman wajah mamah kemudian muncul dalam benakku. Sebuah goresan pisau di nadi, membuat Ia kehabisan banyak darah, hingga nyawanya tak dapat tertolong lagi. Tubuhnya kaku bersimbah darah. Aku benar-benar terpukul saat itu, apalagi aku orang pertama yang menemukan mamah terkapar. Tubuhku bergetar.
“Mamah Olin udah gak ada, Mbok.”
“Aduh, maafkan simbok, Non. Simbok lancang.”
“Gak papa, Mbok. Udah tiga tahun lalu, kalau sekarang Olin udah ikhlas.” senyumku mengembang manis ditengah rasa nyeri yang teramat.
"Non!"
“Sebenarnya jujur simbok kesel sama den Miko. Sikapnya yang semena-mena terhadap non sungguh kejam. Padahal dulu dia gak seperti itu loh. Dia sangat baik dan peduli, perhatian juga sayang keluarganya. Tapi sejak bersama janda beranak dua itu, dia berubah!”
“Hah? Janda beranak dua?” aku terhenyak! Mendengus tak percaya.
“Iya, Non. Ya itu, si Ratna! Pacarnya itu, Non. Saya takut den Miko hanya dimanfaatin aja.” wajahnya tertunduk lemah, seakan tak berdaya.
“Humm.. bisa jadi, Mbok!”
"Ya sudah sekarang, non Olin istirahat. Biar cepat sembuh pinggangnya ya?" aku mengangguk.
Mbok Asih lalu berpamitan menuju kamarnya. Sepeninggalnya, aku semakin semrawut! Janda beranak dua? Apa dia mabuk? Atau jangan-jangan diguna-guna? Ahh aku tak peduli!
Entah mengapa, hatiku tiba-tiba tersentil untuk menunaikan sholat tahajud malam ini. Dorongan itu semakin kuat mengingat kenangan almh. mamah.
Kugelar sajadahku, menata hati menghadap Allah. Berderai air mata, kutumpahkan kesedihanku, kekesalanku, kemarahanku semua perasaan yang kini melanda batinku. Dan seakan mendapatkan kekuatan lebih, aku bangkit.
Sebuah rencana matang dalam pikiranku. It’s show time, Mas! Rasakan kekuatan istri selinganmu ini!
![](https://img.wattpad.com/cover/190365621-288-k67ae1e.jpg)