Do I love you?
Do I hate you?
I can't make up my mind
"Ngapain sih pagi-pagi lo nyeret gue ke sini, Nyet?"
Dia cuma nyengir dan mengangsurkan kopi ke tanganku, mencoba meredakan kebeteanku. Cappucino hangat, gula 25%, seperti yang biasa kupesan. Aku menggerutukan ucapan terima kasih, yang dibalasnya dengan lambaian tangan ringan sebelum dia membuka tasnya dan mengeluarkan barang-barang. Kafe langganan tempat kami sekarang berada baru saja buka, dan pegawainya masih mengelap kaca dan meja. Mukaku masih beler karena cuma berhasil cuci muka sebelum dia menarikku dari rumah dalam hoodie yang berhasil kusambar di detik-detik terakhir supaya penampilanku agak pantas. Sebenarnya dia juga tidak jauh berbeda, dan aku dengan senang hati akan membantainya karena belum cukuran nanti sebagai balas dendam.
"Kita sekarang rapat buat rencana kencan itu," dia mengumumkan.
"Oh itu beneran jadi?" Aku menaikkan alis dan mengedikkan kepalaku ke arah kertas-kertas lecek di atas meja. "Terus apaan nih, pake kertas bon banget? Gak modal amat sih!" aku tertawa, tapi aku memajukan badan dan mengambil satu kertas.
"Tulis dulu aja kali ya kita masing-masing mau ngapain aja?" dia nyengir. "Tapi jangan mahal-mahal dan susah-susah, please; you know we both are young, dumb, and broke."
"Idih, ga nyambung."
Kami tertawa sebelum larut dalam tulisan masing-masing. Baru ketika singkong goreng keju kami datang dia mendongak dan merapikan pinggiran kertas, siap membacakakan daftarnya.
"Gue pengen ada belanja dan masak bareng, tapi masaknya harus yang bagus. Steak gitu. A 4 course meal. Terus mau ada dansa-dansanya di tengah masak-masak."
"Oke."
"Kepingin minum kopi sambil selimutan berdua waktu hujan."
Aku menelengkan kepala. "Sekarang kan bukan musim hujan-"
Dia menaikkan telunjuknya, menyuruhku berhenti protes.
"Sama lihat bintang dari taman di pinggir tebing."
Kali ini aku tak kuasa untuk menahan tawa.
"Cheesy banget sih!"
"Ih biarin dong, kan biar kayak lagu!" dia mendecak tidak sabar. "Emang punya lo lebih bagus?"
Aku menunduk menatap daftarku dan sadar bahwa daftarku tidak kalah picisannya. "Gue pengen bangun-bangun dijemput dan ada buket mawarnya."
"Mahal banget!" dia langsung protes. Giliranku melempar pandangan galak padanya.
"Pengen jalan-jalan sambil PDA sambil pakai baju bagus, dan gue milihin baju elo sementara elo milihin baju gue."
"Sekalian aja kita saling beliin baju satu sama lain."
"Eh boleh tuh!" aku bertepuk girang. "Kadang-kadang elo pinter juga."
Dia hanya tertawa bangga. "Yaudah, weekend ini aja? Lo lagi ada acara gak weekend ini?"
Aku menggeleng, dan kami bertukar pandangan penuh konspirasi. Ini menarik juga! Padahal kami juga sering keluar cuma berdua, entah untuk nonton atau untuk berburu buku (walau tampangnya anak doyan dugem, dia juga suka baca buku). Tapi ada aura petualangan yang baru di udara sementara kami menyusun detail hari itu supaya semua keinginan kami tercapai.
Ketika dia mengantarku pulang, aku tidak bisa memutuskan apakah debar-debar ini adalah rasa senang karena rencana bodoh ini atau karena aku mulai melihat sesuatu yang lain dari dalam dirinya.
YOU ARE READING
Where We Land
Romance5 tahun hubungan platonik dan ratusan "ciyeee pacaran aja sana" dan ke manakah kita akan mendarat?