So let's freefall
See where we land
Ketika hari itu tiba, dia benar-benar menjemputku dengan buket mawar sebesar pelukan di beranda rumahku.
Seluruh keluargaku melotot karena selama ini mereka melihat sendiri betapa stagnannya hubungan platonis kami. Tapi di hari Minggu yang cerah ini, kami berdua dandan dengan niat (aku sampai beli foundation dan eye shadow set baru untuk hari ini) dan cengir-cengir malu-malu seperti pasangan baru yang masih kasmaran.
"Nyokap lo bingung banget anjir waktu bukain gue pintu."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ya gimana lagi, biasanya dia muncul dengan kaos buluk, tapi hari ini dia muncul dengan kemeja flanel yang masih wangi pelembut pakaian. Biasanya dia muncul dengan sandal jepit, hari ini muncul dengan Converse high top hitam andalannya. Wangi musk yang biasanya bercampur asap rokok dan alkohol karena parfumnya cuma dia pakai kalau mau ke klub hari ini murni tidak bernoda, dan terasa segar di hidung. Aku jadi malu sendiri kalau membayangkan dia pergi kencan dengan dedek-dedek gemas dalam setelan seperti ini.
Kami langsung meluncur ke kafe unyu untuk sarapan gemes yang menjadi agenda pertama kami hari ini. Sepanjang perjalanan, aku memeluk buket mawarku. Niat juga dia sampai beneran pilih yang begini! Walaupun aku ikut bayar buketnya, tapi caranya membawakan buket itu lalu memberikannya padaku bikin tersipu. I see another side of him this morning; the sweeter, more romantic side that has been buried too deep in the apathy.
Dan ini sungguh menyenangkan.
Kami duduk berhadapan di bangku dekat jendela, lalu mulai memilih menu. Sebenarnya bukan kali ini juga kami makan di tempat yang bagus, tapi ini pertama kalinya kami makan di tempat yang bagus berdua. Dia membalik-balik menu, wajahnya terlihat rileks. Sudah berapa kali aku mengamati wajahnya dari seberang meja seperti ini? Seribu kali? Sepuluh ribu kali? Pertama kali kami duduk berhadapan begini adalah di McDonald's di Seattle. Waktu itu kami masih canggung sekali dan lebih banyak diam. Lalu kedua kalinya di tempat yang sama, dengan obrolan yang lancar mengalir. Lalu ketiga kali, keempat kali. Dengan rambut berantakan, dengan baju seadanya, dengan sandal hotel, dengan wajah belum bercukur, dengan wajah merah karena kebanyakan tertawa, dengan sorot yang kosong, dengan mata yang separuh sadar karena mabuk dengan susu di tangan...
Sudah berapa kali dia mengamatiku dari seberang meja seperti ini?
"Udah nentuin pilihan? Aku panggil waitressnya ya."
Aku mengangguk singkat. Ngomong dengan halus dan pakai aku-kamu was part of today's deal karena kalau suasana sudah manis tapi manggilnya masih "Woi mau pesen apaan? Gue udah laper anjir" it will ruin the atmosphere. Still, I can't get my head around how soft his voice is sometimes.
Waitress datang dan kami memesan. Ada hening yang nyaman setelahnya, dan kami berdua bengong menonton jalan yang masih sepi di luar kafe. Banyak orang yang lari pagi. Banyak juga yang masih berangkat bekerja karena tidak punya pilihan untuk libur di akhir minggu. Bagaimana rasanya jadi mereka, ya? Apa yang ada di pikiran mereka? Bagaimana mereka menghadapi hari-hari mereka-
"Kamu keliatan beda hari ini. In a good way."
Aku menoleh dan senyumnya hangat seperti biasa. Tidak ada canggung atau ragu. Apa ini cara dia ngalus ke cewek-cewek yang mengajaknya keluar setiap weekend untuk mengalihkan perhatian dari mati rasanya? Kalau iya sih ya pantas saja banyak yang bertekuk lutut karena pandangan teduhnya memang bisa membuat deg-degan.
"I can say the same to you."
Untuk sedetik ada sorot bingung di wajahnya. Lalu tawa, yang kali ini terdengar gugup. Anak ini biasanya kelihatan pede and it is refreshing to see him caught offguard. Ada rasa menang karena aku bisa membuat cowok yang disebut suka PHP anak-anak gadis ini malu-malu. Tapi juga ada sedikit rasa senang karena pujiannya terdengar tulus dan manis, beda dengan "weh mau ke mana lo cantik bener"nya yang biasa.
"Tapi beneran, aku suka lihat kamu hari ini. Aku suka kalau lihat kamu dandan, karena kamu dandan to feel good about yourself," dia mengusap rambutnya. "I like girls who feel good about themselves."
"Alus banget sih kamu, kayak jalan tol."
"Jalan tol juga ada kali yang bolong-bolong."
Minuman kami datang, dan obrolan kami mulai mengalir lancar. Aku mulai bercerita tentang tugas akhirku yang mandek karena dosen pembimbing yang sibuk terus. Dia mulai cerita tentang kantor tempatnya magang dan kehidupan sebagai anak ahensi gadungan. Lalu tentang ketakutan kami memasuki dunia kerja. Obrolan dan candaan yang selalu datang dan tak pernah berhenti, seperti biasa. Mau bau wangi atau bau iler, mau dengan salad ataupun rokok. Di dalam kafe ataupun di dalam mobil. Dalam acara 'bosen ih makan ayam geprek depan yuk' maupun dalam acara pura-pura kencan seperti sekarang.
Dan cerita kami masih berlanjut saat kami meluncur ke agenda selanjutnya.
YOU ARE READING
Where We Land
Romance5 tahun hubungan platonik dan ratusan "ciyeee pacaran aja sana" dan ke manakah kita akan mendarat?