Ketika Hujan

12 1 0
                                    

It's been this way since we were young

We'll fight and then make up

I'll breathe your air into my lungs

When I feel your touch

"Apaan sih ini tuh bukan gaya aku banget!"

"So is with what you chose for me!" Dia menggesturkan penampilannya sekarang; kaus hitam yang dirangkapi kemeja jins dan celana khaki, yang sebenarnya juga gak gitu beda dari penampilannya kalau mau ke klub. Dia masih ngotot sambil mendorong gaun merah muda melambai itu kepadaku. "Sekali aja pakai beginian kenapa sih?"

Sejujurnya aku juga suka baju itu. Tapi dipakai ke mana, sama siapa? Semua teman-temanku adalah tipe yang dress for comfort, dan gaun manis begini jelas akan tertimbun di bagian bawah lemariku. Sungguh sebuah keborosan bagiku yang suka sampai menangis kalau harus membersihkan lemari dari baju-baju yang tidak lagi dipakai.

Seolah membaca pikiranku, dia mengubah nada bicaranya jadi lembut.

"Kamu sebenernya kepingin juga pakai yang begini kan? Kalau gak sekarang, kapan lagi?"

Dan begitu saja, pertahananku runtuh. Selanjutnya aku mendapati diriku membayar baju itu di kasir dan mengganti bajuku yang sekarang dengan si gaun manis.

Dia mendecak puas waktu melihatku keluar dari toilet.

"Kalo gini kan kelihatan kalo kita pergi kencan."

Aku meliriknya kesal. Awal-awal sih salting juga denger dia ngomong manis dan halus, tapi setelah terbiasa esensi omongannya sama saja. Saling hina memang jadi topik andalan kami, dengan tata bahasa yang manis maupun dalam "eh anjir ngaca dong nyet".

Apa kami pernah berantem karena hal ini? Oh ya, tentu saja. Tapi dia selalu peka untuk tahu bahwa aku sakit hati dan cepat meminta maaf. Dan aku belajar untuk terang-terangan menegur kalau dia kelewat batas.

We fight and we make up.

Ih kayak judul lagu.

Jadi tentu saja kekesalanku tidak bertahan lama. Kami makan siang di restoran yang tidak kalah manisnya dengan kafe tadi pagi (kapan lagi makan di tempat estetik begini?) lalu belanja buat acara memasak. Dan aku baru tahu dia sebawel itu dalam mengamati paprika untuk bahan salad kami.

"Ya kan yang ini warnanya lebih bagus, lebih seger!"

Aku mengangguk malas karena malas ribet dengannya. Penting amat sih debat tentang warna paprika! Tapi seperti biasa dia peka dengan aura beteku dan membiarkanku memimpin pencarian daging yang enak untuk dibikin steak.

Ketika kami berkendara balik ke rumahnya (seperti biasa, tidak ada orang di sana), langit masih secerah tadi pagi.Tapi ketika kami mulai memasukkan belanjaan ke kulkas, hujan tumpah sederas-derasnya.

"Padahal kamu bilang gak akan hujan ya."

Aku menoleh ke arahnya dan dia mengedip jenaka. Aku cuma mengedikkan bahu tidak peduli dan melanjutkan menyusun bahan ke dalam kulkas sambil memisahkan bahan-bahan yang bisa diolah duluan, sama sekali tidak sadar dia sudah pergi dan melakukan hal yang lain.

Ketika aku selesai, dia sudah siap dengan dua cangkir kopi dan selimut di sofa ruang tengahnya, laptopnya menyala pertanda Netflix siap menemani kalau aku mau. Aku melirik hujan yang masih deras di luar dan tertawa, lalu bergabung dengannya di sofa. Telapak kakinya hangat di atas kakiku, dan wangi parfumnya yang memudar terasa hangat karena bercampur dengan wangi tanah yang basah.

Padahal ini agenda yang tentatif, karena ramalan cuaca bilang minggu-minggu ini akan cerah. Tapi kami duduk di bawah selimut menonton Sex Education sambil minum kopi, suara hujan mengaburkan dialog film yang kami dengarkan lewat earphone.

Where We LandWhere stories live. Discover now