5. Ayah

8.5K 539 20
                                    

"De, ayah kecelakaan!" suara ibu terdengar panik dari seberang telepon.

Nada panik itu dengan segera mengambil alih semua kontrol diriku dan membawaku tiba di rumah sakit secepat yang aku bisa. 

Dalam kurun waktu yang terasa sangat lama, aku, ibu, dan Krista menunggui ayah yang masih tak sadarkan diri. Kecelakaan kereta api membuat kondisi ayah sangat mengenaskan. Haruskah aku membenci kereta api mulai saat ini? Tentu saja itu hanya pemikiran bodoh semata.

Suara tangis ibu dan Krista terus saja mendengung di telingaku. Seakan mereka sudah tau jalan selanjutnya, seakan mereka sudah mengira apa yang akan terjadi pada ayah. Tapi aku menolak untuk percaya itu. Tak peduli seberapa parahpun kondisi ayah, aku yakin beliau akan kembali. Aku rasa kehilangan dua orang ayah terbaik yang pernah ada, dalam dua bua kecelakaan yang berbeda, sudah terlalu banyak untuk kuderita. 

Krista terus saja terisak dalam pelukanku, sementara ibu tampak menatap nanar pada suami terkasihnya yang tampak seakan sedang bingung untuk antara kembali atau pergi. Pemandangan ini sudah pernah kualami. Dulu, meskipun jasad ayah kandungku ditemukan setelah beberapa hari, aku melihat ibu masih berharap suaminya akan kembali. Kini, saat ia menemukan pengganti yang mungkin diharapkannya dapat menemani hingga akhir hayatnya, dia kembali harus mengalami ini. 

Dan aku masih saja merutuki nasib cintaku yang tak tersampaikan, meskipun aku pernah melihat kisah yang lebih memilukan. Kisah ibuku. 

Airmataku pun tak mampu kutahan saat kulihat wajah ayah yang semakin hari semakin tampak tenang dalam pembaringannya. Sudah dua minggu berlalu, dan ayah tak juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Kecelakaan itu memang telah cukup merusak organ vitalnya, sehingga membuatnya berada dalam keadaan koma. 

Kutatap ayah dalam pembaringannya, dengan air mata yang berlinangan, meskipun aku tak terisak. Terbayang kembali semua memoriku bersama ayah. Aku sangat menyayangi pria yang telah cukup menua ini. Aku menyayanginya seperti ayah kandungku sendiri. Betapa dia sangat hebat menjalani perannya sebagai ayah dari Krista, dan juga aku. Tak pernah sekalipun aku merasa sebagai anak tiri. Aku merasa sangat dicintai olehnya. Dan terlebih, ayah lah sosok yang telah membahagiakan ibu, membangkitkan ibu dari keterpurukannya selama bertahun-tahun menghadapi kehilangan suami terkasihnya. Betapa ayahadalah sosok yang sangat hebat. 

Kurasakan sebuah tangan yang lembut mengusap kedua pipiku.

Krista.

Saat dia berhenti menangis, justru aku yang berlinangan air mata. 

"Kak, pergilah ke kantor. Banyak pekerjaan menunggu kakak.." ucapnya padaku dengan suara pelan. 

"Kakak ingin menemani ayah, Ta.." jawabku.

Tak rela rasanya kutinggalkan beliau kini.

"Aku tau. Tapi aku yakin ayah ingin kakak mengurus pekerjaan yang sedang tak bisa diurusnya saat ini.." 

Krista... Meskipun aku tau betapa sedihnya dia saat ini, tapi lihatlah betapa dia masih berusaha untuk menghiburku. 

"De, nggak papa. Ibu kabarin kamu segara kalau ada perkembangan sekecil papaun.." ucap ibu menyahut, memandangiku dengan tatapan sendunya. 

Akhirnya aku mengangguk menyetujui saran mereka. Bagaimanapun, aku masih punya tanggung jawab di kantor.

Kupeluk kedua wanita itu bergantian, lalu kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang perawatan ayah. Kami adalah keluarga. Kami keluarga. Terus saja kuucapkan kalimat itu berulang-ulang dalam hatiku. Agar akalku yang kacau bisa sembuh dan melihat bahwa aku dan wanita muda yang berada di dalam ruangan itu adalah keluarga. Seharusnya aku berhenti memikirkan perasaanku itu.Palagi di tengah suasana yang kalut saat ini. Tapi mungkin saja separuh akalku memang telah menghilang.

Jejak CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang