Aku pasti sudah gila.
Setelah kepergian ayah, aku benar-benar semakin tak mampu mengendalikan rasa cinta yang terus tumbuh di dalam hati dan seluruh tubuhku. Semakin hari aku semakin tak mampu memandang wanita cantik itu sebagai adikku. Batinku terus memberontak, tubuhku ingin memiliki sosok itu, menjadi milikku sendiri, seutuhnya.
"Kak, mikir apa, sih?" tanya Krista yang sedang duduk di depan meja kerja ayah yang kini menjadi meja kerjaku.
"Udah jadi CEO malah banyak melamun..."
Aku tersenyum. Krista ikut tersenyum.
"Serius kakak tambah cakep sejak jadi CEO. Aura wibawanya terasa.."pujinya padaku.Dia sudah berdiri di belakang kursiku, meletakkan kedua tangannya di pundakku, mengalirkan listrik semu yang tak wajar ke seluruh tubuhku.
"Jadi sebelumnya kakak nggak berwibawa, gitu?" tanyaku.
"Wibawa.. Dikit.." jawabnya ditambah dengan cengiran, menempelkan dagunya pada belakang kepalaku, sementara tangannya mulai memeluk leherku dari belakang, dan membuat debaran jantungku semakin cepat.
Sesuatu dalam tubuhku yang semakin tak mampu kutahan juga mulai bereaksi. Sangat gila, aku selalu membayangkan sesuatu yang gila tentang Krista.
"Wangi kakak enak.." gumamnya di telingaku saat wajahnya turun ke leherku, membuat tubuhku semakin menggila.
"Ta..." tegurku, meskipun suaraku terdengar sedikit parau.
Dia terkekeh pelan dan melepaskan diri, menjauh dariku, membuatku merasa kehilangan kenyamanan yang beresiko tinggi itu.
"Nanti malam ngumpul di rumah ibu, ya, kak.. Ulang tahun ibu. Aku yang masak.." ucapnya, dia sudah berdiri di sampingku.
Aku mengangguk.
"Jangan telat, bos.." ucapnya, lalu mengecup pipiku sejenak, mengedipkan sebelah matanya dan menghilang di balik pintu, meninggalkanku dengan debaran jantung yang menggila yang terasa di sekujur tubuhku.
Tuhan, cobaan apalagi yang Kau berikan padaku..
Aku mendesah berat, mencoba mengusir segala bayangan gila tentang 'adikku' itu.
Kutekan tombol telepon di depanku, dan memanggil sekretarisku. Aku perlu secangkir kopi panas yang mampu membakar lidahku, agar otakku yang gila bisa sedikit membaik dan mampu berkonsentrasi dengan pekerjaan yang kian menumpuk.
"Ya, Pak.."
"Re, tolong ke pantry dan pesankan kopi susu super panas untuk saya.." ucapku.
"Baik, pak. Segera."
Dan beberapa menit kemudian Regata datang mengantarkan kopi susu itu.
Aku mengernyit memperhatikan mantan sekretaris ayah yang kini menjadi sekretarisku itu.
"Kenapa nggak suruh OB yang antar, Re?"
"Lagi pada sibuk, pak. Takut bapak lama nunggu, jadi sekalian biar saya aja.." dia tersenyum, manis sekali.
"Kamu nggak mencoba menarik perhatian saya, kan?" Aku menaikkan sebelah alisku, bertanya padanya.
Dia terkekeh pelan, lalu mengibaskan tangannya dengan sopan.
"Maaf, pak. Jangan salah paham. Bukannya bapak kurang ganteng, tapi saya sudah punya pacar.." jawabnya dengan cengiran di akhir kalimatnya.
Aku tersenyum.
"Oh ya?"
Dia mengangguk.
"Sudah rencana mau nikah?" Aku mulai kepo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Cinta
RomanceIni kisah tentang aku, yang memendam cinta pada adik tiriku sendiri. Cinta yang terus tumbuh selama 11 tahun lamanya. Yang meninggalkan jejak yang pedih dalam kisah cintaku. (Dehyan Finanda) Copyright © 2014 by ikadelia