Part 7 : Pulang kampung.

2.5K 229 5
                                    

°
°
°





Ternyata dipilihnya Dias sebagai kandidat terkuat yang akan menggantikan Azizah sebagai sekretaris direktur utama, karena memang hanya Dias yang tampaknya mampu mempelajari semua hal dengan cepat dan akurat. Dalam waktu satu minggu saja, Dias sudah bisa menghandle semua pekerjaan Azizah. Azizah bahkan kagum sendiri dengan kemampuan Dias yang menurutnya sudah seperti seorang sekretaris profesional, padahal Dias baru saja lulus dan mendapat gelar S1 nya.

“Dari SMA udah disuruh bantu-bantu ayah di perusahaan mbak, jadi udah nggak aneh lagi nemu kaya ginian,” jelas Dias sewaktu Azizah bertanya kenapa Dias bisa dengan cepat mempelajari pekerjaannya.

Kini, Azizah bahkan tampaknya sudah tidak perlu membimbing Dias lebih jauh lagi. Dalam waktu kurang dari sepuluh hari, puasa akan berakhir dan tampaknya sudah saatnya Azizah pulang ke kampung halaman. Kemarin bundanya Jafar sudah memintanya untuk memberitahu kedua orang tuanya jika keluarga Jafar akan datang seminggu sebelum lebaran untuk acara lamaran secara resmi. Sedangkan Jafar rencana akan ke rumah Azizah besok atau lusa untuk meminta restu secara langsung pada bapaknya di kampung.

“Mbak Zah, di sini ada CCTV nggak sih?” bisik Dias tiba-tiba. Siang ini Azizah sudah tidak ada pekerjaan karena hampir seluruhnya sudah dia alihkan pada Dias. Dia hanya perlu beres-beres, dan rencana sore nanti dia akan bertolak ke kampung halaman dengan menggunakan bus. Sebenarnya, Jafar mengajak Azizah untuk pulang ke kampung bersama dengan Jafar naik mobil, tapi Azizah nggak mau.

Ya bayangin aja, dia duduk di samping Jafar, di tengah kemacetan selama beberapa jam hanya berdua. Yang ada malah jadi fitnah, terlebih dari pihak kedua keluarga juga tidak menyetujui usulan Jafar itu. Bundanya Jafar sendiri bahkan langsung memarahi Jafar dan menceramahinya macam-macam, padahal niat Jafar baik, tapi memang nggak etis mengajak seorang perempuan yang bukan mahramnya berjam-jam di mobil yang sama.

“Mbak Zah, Pak Panji pulangnya masih lama kan, ya?” tanya Dias, lagi. Azizah menoleh ke arah Dias dengan pandangan malas.

“Emang kenapa sih, Yas?” tanya Azizah mulai jengah. Sejak tadi Dias terus bertanya-tanya pertanyaan yang hampir sama, padahal tadi sudah dijawab dengan gelengan kepala oleh Azizah.

“Jawab dulu mbak,” sahut Dias dengan ekspresi minta digampar, sumpah ya kalau lihat Dias kadang Azizah pengen nguyel-uyel saking nggak tahan sama muka tengilnya.

“Nggak ada CCTV, dan iya pak Panji masih lama pulangnya,” jelas Azizah pada akhirnya.

Dias tampak mengangguk, lantas yang terjadi selanjutnya membuat Azizah hanya bisa melongo di tempatnya duduk. Dias tampak membuka dua kancing kemeja atasnya, lantas mengambil sesuatu dari balik pakaian dalamnya. Dengan setengah kesal Dias tampak menaruh yang barusan dia ambil ke atas meja, tepatnya di atas sebuah map kontrak kerjasama dengan salah satu perusahaan dari Singapura.

“Aku kira Mas Jafar bakal ke kantor hari ini, makanya aku sumpel pake ginian mbak,” jelas Dias sembari mengibas-ngibaskan benda lentur di tangannya di depan Azizah. Azizah kontan memundurkan kepalanya. “Kan lumayan biar agak gedean sedikit, siapa tau Mas Jafarnya tertarik. Eh ternyata malah nggak dateng. Kata mbak Rina, Mas Jafar udah mulai cuti hari ini sampai nanti abis lebaran, kan aku sedih jadinya mbak, belum sempat minta nomornya lagi.”

Azizah tertawa pelan, setengah nggak percaya pada sosok aneh di depannya. Padahal yang barusan dibicarakan itu bisa dibilang calon suaminya, tapi entah kenapa Azizah tidak merasa cemburu sama sekali. Dia hanya speechless saja, ternyata ada orang yang lebih aneh dari Jafar.

“Eh bentar, mbak kayaknya deket sama Mas Jafar,” ucap Dias sembari menatap Azizah dengan mata memicing.

Azizah langsung gelagapan. “Enggak!” bantahnya cepat.

Geser dong!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang