Chapter 1

98 6 2
                                    


Halo, Gaes! Berhubung ini kali pertamanya aku nulis dengan background pesantren, mohon maaf ya kalo ada yang aneh. Jangan lupa vote dan commentnya! Senang kalau kalian mampir di sini.😊

***

Pagi itu, Najmi di kamarnya tampak menyiapkan sesuatu. Yang tadinya kamar rapih, sekarang kerapihan itu tak nampak lagi.

"Emak! Fotocopy ijazah Najmi di mana?" Terdengar menggelegar, mungkin mampu membuat harimau terbangun dari tidurnya.

Emak dari arah dapur lari tergopoh-gopoh, badannya bau asap, "kenapa toh, Nduk? Memangnya gak kamu jadikan satu sama berkas lainnya?"

"Ngga tau, Mak. Najmi lupa." Balasnya sembari masih mengacak-acak meja.

Emak menghela napas, "kamu beneran gak mau masuk pondok, Nduk? Coba dipikir satu kali lagi."

Najmi berdecak dan mengibas-ngibas tangan, "gak, Mak. Tolong jangan paksa Najmi lagi. Keputusan Najmi udah bulat."

Ada gurat kesedihan di wajah Emak.

"Emak tau, kan? Kalo Najmi peringkat 1 se-kabupaten. Jadi sayang kalo gak masuk SMA favorit, Mak." Najmi tampak membela diri.

Emak yang bersandar pada daun pintu berkali-kali menghela napas, putrinya memang keras kepala. Persis seperti dirinya di waktu muda.

"Yaudah, terserah kamu, Nduk. Emak ngikut aja. Fotocopy-annya udah ketemu belum?"
"Belum, Mak."
"Sini biar Emak fotocopykan. Tapi kamu temuin Ustadz Luthfi di ruang tamu dulu, ya. Tadi Emak udah bikin kopi di dapur, nanti dibawa ke depan."

Mata Najmi membulat, kaget. Ingin rasanya dia membantah, tapi tak mau. Alhasil selepas Emak keluar dari pintu belakang, Najmi berjalan lunglai ke dapur. Mengambil apa yang dimaksud Emak kemudian menghidangkannya.

"Assalamu'alaikum, Ustadz." Sapa Najmi tampak tak semangat.

"Wa'alaikumussalam, Najmi. Ibumu ke mana, Dek?"

"Emak keluar sebentar, Ustadz. Maaf, Ustadz ada keperluan apa?"

Najmi mencoba mengangkat kepala, sampai akhirnya sadar kalau ada seseorang di samping laki-laki 30 tahun lebih itu. Siapa? Batin Najmi bertanya.

"Oh, baiklah. Saya mau memberitahukan informasi. Undangan dari pondok, Dek." jelas Ustadz Luth.

Najmi mengangguk, dia mencoba fokus dengan perkataan Ustadz Luth, tapi entah mengapa dirinya lebih tertarik dengan orang itu. Seseorang yang tampak malu-malu saat pandangan antara Najmi dan dirinya bertubrukan. Tapi kalau tak salah menduga, sepertinya dia santri didikan Ustadz Luth.

"Jadi Bapak bisa dateng nggak, Dek?"
Najmi seperti terbangun dari tidur. Dia tak tau apa-apa.

"I-iya, bagaimana, Ustadz?" balas Najmi gugup. Tak sengaja matanya menangkap wajah orang itu. Dia tampak menahan tawa. Ah menyebalkan! Kali ini rasanya Najmi ingin hilang saja dari bumi. Malu.

"Nanti malem ada syukuran ulang tahun pondok, Dek. Bapakmu bisa datang apa nggak?" jelas Ustadz Luth mencoba sabar.

"Oh begitu, engga tau, Ustadz. Nanti Najmi sampaikan ke Bapak aja, ya. InsyaAllah Bapak bisa." balas Najmi sambil memainkan jari. Kebiasaan Najmi saat gugup.

"Yasudah, itu saja. Kami pamit, ya."

"Eh, diminum dulu, Ustadz. Sayang kalo gak diminum."

Ustadz Luth dan orang itu yang sudah bersiap bangkit seketika duduk manis kembali. Tanpa berbasa-basi, gelas yang terisi penuh itu hanya meninggalkan ampas kopi.

"Kami pamit ya, Dek."
Ustadz Luthfi mengajak bersalaman tanpa menempelkan tangan. Najmi menangkupkan tangan di depan dada. Lalu salam penutup mengisi ruang tamu. Najmi masih mencoba mencuri pandang kepada orang itu. Dia tampak manis dengan kacamatanya. Aih! Sepertinya Najmi dibuat jatuh cinta.

"Ustadz, maaf!" Seru Najmi saat mereka telah berjarak lima meter dari rumah Najmi.

"Iya ada apa?" Ustadz Luth yang berbicara. Memangnya kenapa? Kau ingin dia yang menyahut, Naj? Mimpi!

"Itu ... Najmi mau nanya, Ustadz." Ungkap Najmi masih dengan curi pandangnya, dan entah harus bahagia atau tidak, orang itu juga membalas tatapan Najmi, walaupun sesekali dia mengalihkan pandangan.

"Nanya apa?" Ustadz Luth lama-lama dibuat tidak sabar.

"I-itu ... itu."

"Apa, Najmi?"

"Itu ... Ustadz, nama ikhwan d-di s-samping Ustadz s-siapa?"

Layaknya pertanyaan Najmi lawakan, Ustadz Luth tertawa. Membuat pipi Najmi memerah. Lagi-lagi malu. Duh, lagian nekat banget sih! Runtuk Najmi dalam hati.

Ustadz Luth menyenggol orang itu, "tuh ditanyain namanya sama Najmi." Ada sedikit bumbu ledekan di ucapannya.
Orang itu tersenyum. Manis. Bener-bener buat Najmi salah tingkah dah!

"Saya Fathan Aqsa Lubis. Panggil saja Fath atau Fathan."
Begitu merdu terdengar di telinga Najmi. Astagfirullah, sadar, Naj!

"Oh, oke deh. Makasih, hehe." Lalu Najmi mengucap salam dan langsung berlari memasuki rumah. Malu coy! Ustadz Luth dan Fathan tampak bingung. Tapi mereka berdua lebih memlilih tidak mempedulikan. Dilanjutkannya perjalanan yang sempat terhenti sambil membicarakan tingkah Najmi.

.

Najmi langsung mencari Emak. Kenapa pula Emak belum kelihatan upilnya?

"Emak!"

Dan benar saja, beliau ada di pintu belakang. Baru saja sampai.

"Emaaaaak, Najmi mau masuk pondok, Mak!" Begitu riang suara Najmi, terlihat tidak ada beban.

Emak yang baru sampai dibuat bingung. Kenapa dengan anaknya? Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?

"Emaaak, Najmi gak sabar mau masuk pondok. Ayo, Mak! Kita beli gamis buat Najmi!"

"Kenapa berubah pikiran? Kenapa,Nduk?" Napas Emak ngos-ngosan karena sekarang Najmi membawanya lompat-lompatan.

"Pokoknya Najmi mau masuk pondok, Mak! Gak mau tau!" Seperti biasa, anak bungsu merajuk.

"Iya, Nduk, iya. Sekarang berhenti lompat-lompatnya, Emak capek." Titah Emak dengan senyuman di wajah. Terlihat sekali gurat bahagia. Dan itu ada dalam wajah keduanya.

"Mak, nanti beli kerudung yang bagus, ya. Najmi mau keliatan cantik." Pinta Najmi manja. Sepertinya dia sudah lupa tentang fotocopy ijazah.

Emak hanya tersenyum menanggapi. Asal anaknya bahagia, mengapa tidak?

Saat keduanya hanyut dalam kebahagiaan, tiba-tiba ketukan dan salam terdengar.

"Bapak?"

Najmi langsung menghambur dalam pelukan. Tidak peduli kalau bapaknya penuh lumpur sawah.

Bapak kaget. Beliau mencoba mencari jawaban kepada Emak lewat mata. Tapi Emak hanya tersenyum sambil mengedikkan bahu.

Tanyakan saja langsung pada anakmu, isyarat dari mata Emak.

Banyumas. 13/6/19.

Lanjut enggak?

Asmara di AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang