RUMAH NENEK

353 117 24
                                    

Langit subuh selalu memikat naluri. Warnanya merajut merah, kuning keemasan menyemangati hidup, seperti permadani surgawi yang terhampar menggantung terbalik menaungi bumi pagi. Ya Allah, Ya Qadir, kuasa-Mu tak ada yang dapat menandingi.
Kumandang suara adzan yang dilantunkan muadzin mengalun ditelinga merasuki pikiran dan nurani, membangunkan ummat muslim untuk segera sholat menghadap kepada yang khaliq .mengajak orang-orang untuk menyembah hanya kepadanya.
Di perkarangan rumah terdengar suara kokok si jago, ayam jantan yang tak mau ketinggalan menyambut pagi. Menyanyikan lagu wajibnya setiap hari. Ku buka jendela kamar, sejenak angin menerobos menghalau aroma tak sedap dikamar karena bau peluhku. Melalui lubang jendela terlihat obor-obor yang berjalan. Kuamati namun hanya segerombolan anak laki-laki dengan sarung dan pecinya.
"Subhanallah," do'aku lirihku.

Kuamati lagi keadaan pedesaan ini. Kali ini lebih nyata lagi. Kubuka jendela kayu itu dengan hati-hati. Kuarahkan pandanganku ke hamparan padi disebelah kiri rumah.sungguh asri pedesaan ini seolah akan selalu abadi, namun yang lebih abadi yang nenyiptanya.
Sejenak aku tertegun oleh kecantikan dikampung nenekku ini. Ya, sudah empat hari aku berada dirumah nenekku. Tepatnya di desa cigeulis , Pandeglang Banten. Sebuah desa yang masih asri dan jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Sebuah desa yang indah dengan masyarakat yang banyak dikenal sopan nan ramah.
Tanpa terasa semilir angin merasuk ke seluruh sudut kamar. Tekanannya menancap kedalam kulit ari. Detik jam berdentang cukup lantang.
"Nis, sudah sholat?" Tanya seseorang yang tak lain adalah kakak pertamaku, ka Rasyid. Ia menyadarkanku dari lamunan serta ketakjuban.
"Astagfirullah, belum mas." Kulirik jam yang tertempel di dinding. Kedua jarumnya menunjukan angka lima lewat lima menit.
"Kalau begitu, ayo berjama'ah dengan ka fikri. Dia sedang ngambil air wudhu," ujar ka Rasyid padaku.
Sebetulnya aku malas berdekatan dengan kak Fikri, kakak keduaku. Entah mengapa, sepertinya kami tak dapat bersatu sampai saat ini. Menurutku, ia adalah kakak yang usil plus tak mau mengalah kepada adiknya. Sejak kecil sampai sekarang kami tak akur. Uh...tapi karna kali ini kak Rasyid yang meminta, aku setuju.
"Iya, Kak. Mm...Ibu dan Ayah sudah sholat?" tanyaku setengah basa-basi.
"Ibu dan Ayah, kak Rasyid dan yang lain sudah sejak tadi, adik manis. Sekarang jangan alasan dong. Kakak engga mau denger kalian musuhan lagi." Kata Kak Rasyid "sungguh tahu isi hatiku" gumamku. Ia melanjutkan bicaranya.
"Ayo, Nissa adikku...Ayo ambil wudhu." Kak Rasyid kini agak mendorongku ke arah kamar mandi.
"Iya, iya. Kakak sayang." Kataku seraya melipat lengan piyama kesayangan, sampai diatas siku.
"Nissa, cepet dong! Kok lama banget sih?" teriak Kak Fikri mengeluarkan nada tingginya di sebuah ruangan. Aku belum juga mengampirinya.
"Iya... sebentar " kataku agak ketus sambil setengah lari menuju suara Kak Fikri. Setelah datang, aku dipandang oleh Kak Fikri. Pandangan yang kesal yang ditunjukan kepadaku. Aku mengucap maaf kepadanya karena telah lama menunggu.
Fajar itu kusambut dengan mendirikan kewajiban sholat Subuh berjama'ah bersama Kak Fikri sebagai Imam. Sejenak rasa tak akur sirna dalam khusyuknya kewajiban semua insan pada Subuh. Setelah salam, kami berdo'a di mushola kecil di sudut rumah itu. Atau lebih tepatnya sebuah kamar yang memang sengaja dikosongkan untuk dijadikan tempat sholat. Aku berdo'a, bermunajat kepada-Nya, kupinta keselamatan semua keluargaku. Sebetulnya aku amat sayang kepada Ayah dan Ibu termasuk kepada kedua kakakku ini.
Waktu kian melaju. Mentari muncul diperaduannya. Masih terbayang indahnya air terjun yang kudatangi kemarin bersama Syifa dan Rifqi. Sepupuku. Mereka tinggal bersama nenek. Orangtua mereka adalah paman dan bibiku. Mereka sudah meninggal karena kecelakaan. Bis yang ditumpanginya masuk jurang. Masih tersimpan rapi dalam ingatanku tentang ketakjuban indahnya air terjun yang kemarin aku lihat. Alangkah jauhnya jika dibandingkan dengan tempat tinggalku saat ini, Jakarta. Inilah yang selalu aku impikan. Berlibur sambil melihat keadaan alam yang masih asri.


Veve zulfikar sebagai Annisa

Dokter adit sebagai Kak Rasyid

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dokter adit sebagai Kak Rasyid

Dokter adit sebagai Kak Rasyid

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naswa sebagai Syifa

Syakir sebagai Rifqi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Syakir sebagai Rifqi

Zikri daulay sebagai Kak Fikri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Zikri daulay sebagai Kak Fikri

Zikri daulay sebagai Kak Fikri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yang lainnya menyusul yaa...

KADO TAK BERTUAN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang