Bersemuka ulang

32 9 3
                                    


Akan jadi hobi baru---menarik, melepas dan merasa disengat karet gelang yang diberi dokternya. Konon, sih, bisa bantu kurangi gangguan cemas yang serang sewaktu-waktu itu.

Jika dipikir, ragu. Apa salahnya coba.

Mungkin tarikan pertama terlalu lemah. Namun siapa kira tarikan kedua, tangan nakalnya tarik jauh-jauh karet yang sengatanya benar-benar bikin putus urat-urat yang ada di dalamnya.

Nggak segan lagi mulutnya teriak dan bikin sadar kalu ada orang lain disitu. Sontak terbungkam.

•••

Laki-laki yang---nggak dia kenal ini terus-menerus bikin hilang kesadaranya. Udah berkali-kali matanya mengerjap lebih cepat dari normalnya buat fokus sama jalan yang di lalui. Tapi tetap saja rintihan di sebelahnya itu bikin sesak nafas dan nggak bisa tangan tangisnya dalam satu waktu---akibat trauma masa lalu.

Sepertinya dia emang lahir jadi orang yang nggak berguna bagi orang lain, deh. Baru saja dia patuhi perintah terapisnya buat belajar bantu orang, kan.

Tapi Hebatnya Kak Psikoterapis---Taehyung tau apa yang bakal terjadi. Buktinya dia kasih bekal karet yang bisa sembuhkan dia dari gangguan cemas yang datang kapan saja.

Seperti waktu lihat sayatan pisau di lengan kanan si---Laki-laki itu misalnya. Dia---laki-laki itu---benar-benar ciptain ruang buat tenggelam di masa yang bikin keadaanya terpuruk.

•••

Februari 2015

Suites for solo cello alunan Johann Sebastian Bach selalu jadi andalan buat sungkup rasa gugup yang selalu ikuti kemanapun pergi. Bikin tenang, sih tepatnya.

Nggak peduli sama pasang mata yang lihat sepanjangnya jalan di koridor---sekolah baru. Juga nggak peduli sama orang---yang dari tadi panggil-panggil di belakang.

Lidahnya ingin bermantra aja waktu ada yang berani pukul bahunya. Tapi nggak jadi waktu lihat yang pukul sodorkan kartu tanda pasien---psychiatrists miliknya.

"Jatuh dari loker tadi, mbak." Terangnya yang masih amati kartu bernama terang---Pelangi Jingga.

"Sorry, nggak denger." Secepat apapun tanganya ambil kartu dari laki-laki kacamata itu. Tetap nggak bisa tutupi indentitasnya lagi.

"Loh, yang waktu itu di gang, bukan?" Katanya sambil angkat sedikit kacamatanya yang turun kebawah.

"Mbak-mbak-mbak,"
"Gue punya nama."
Laki-laki kacamata itu bikin lepas paksa earphone yang lagi indah-indahnya melagu. "Bisa baca nama gue ngga." Kartu pasienya diangkat tinggi-tinggi---karena dia tinggi---depan kacamatanya.

"Abis, mukanya kaya mbak-mbak pusing mikir soal USBN."

Jungkook,

Bercanda,

Kan?

Bingung campur lupa ini, gimana kaidah mengumpat. Gara-gara lihat cara Jungkook bicara bikin sesal karna sudah bantu waktu itu.

•••

Seperti yang Jungkook katakan dari awal. Semuanya memang takdir tanpa rencana. Dari insiden di gang, Kartu pasien, Lalu ternyata dia anak baru, dan Sampai ternyata mereka satu kelas dan satu bangku, dan Akhirnya saling berdamai pun, itu takdir.

Jungkook bisa lihat banyaknya bekas tarikan karet di pergelangan teman barunya itu. Tergambar udah seberapa sering dia tarik lepas karetnya.

Bukan itu, Jungkook pikir dia tarik karetnya cuma di waktu-waktu tertentu. Waktu kesurupan mungkin, kaya yang di mobil minggu lalu?

Jungkook sebut dia kesurupan karna belum sempat bertanya kenapa.

Jadi tergambar udah seberapa sering dia kesurupan. Kasihan, ya.

Mungkin Jungkook terlalu lama pandang tangan kecil penuh luka itu sampai dia tarik tangannya kedalam meja.

"Nggak, sakit?" Niatnya perhatian, tapi tergambar kasihan.

Pelangi cuma senyum lihat tanganya. Se-menyedihkan-itu. Ditambah gesekan dawai cello dan ekor kuda di kedai kopi sore hari. Melodrama sekali. Jungkook makin kasihan.

"Tahu nggak, kenapa bisa aku dipukulin waktu itu?" Tanya-Jungkook-sambil-tatap-malaikatnya.

Lagi-lagi Pelangi nggak jawab. Cuma angkat alis. Dia masih nggak sangka kalau bisa hadapi orang sebaik itu selain sama terapisnya.

Aura Jungkook yang selalu tenang, buat Pelangi juga tenang.

•••
Capek, huh😓

-POCKY 2019
만나다 16/06

PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang