TUJUH: Sekat Kenangan

124 21 0
                                    

07 | SEKAT KENANGAN

*

Seminggu tidak masuk membuatku banyak ketinggalan pelajaran. Aku hampir frustasi hari ini gara-gara pelajaran matematika peminatan yang memang hampir tidak pernah kusukai selama ini--kecuali saat aku memahami dan bisa mengerjakan soalnya (he he)--dan kali ini aku tidak mengerti apa apa saat Bu Isti memintaku mengerjakan di depan.

Untung saja Irfan mengingatkan Bu Isti kalau aku ketinggalan materi, kalau tidak pasti sudah mati aku diomelinya di depan kelas selama jam pelajarannya. Selamat aku!!!

Angga menghampiriku setelah bel pulang berbunyi, sedetik setelah Bu Isti meninggalkan kelas dan saat semua anak masih ada di kelas. Tentu saja semua langsung menyorot kami--lebih tepatnya aku. Mereka hanya menunjukkan satu ekspresi yang senada, bingung bin heran alias asthonished.

"Kamu sadar nggak teman-teman pada melihat ke arah kita," bisikku.

"Terus kenapa?" kata Angga dengan wajah innocent.

Untuk beberapa saat aku terdiam. "Nggak kenapa-napa sih," kataku akhirnya. Benar juga kata Angga.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya seoarang teman kami.

"Iya. Dulu kami satu sekolahan saat MTs," jawab Angga.

"Pantesan.." sahut yang lain.

Aku berusaha tersenyum.
Kulihat Irfan. Dia melihatku aneh, tatapan yang aku tidak pernah bisa mengartikan atau sekedar membacanya. Tapi kali ini aku tahu tatapan itu juga beda dari biasanya saat dia melihatku. Tatapan itu lebih dalam lagi. Anisa yang sudah bersiap di sampingnya menggandengnya dan mengajaknya pergi. Ya Allah, kenapa aku harus melihat ini? Kesahku dalam hati.

"Ayo!" Angga membuatku mengalihkan perhatianku padanya.

Aku mengangguk. "Aku duluan ya!" kataku kemudian pada Zia.

Zia tersenyum mengangguk. Sikapnya langsung berbalik 180 derajat dari sikap awalnya. Sebelumnya dia hampir bisa dibilang seperti tergila-gila pada Angga, tapi setelah tahu Angga adalah sahabatku dia langsung kembali normal. Dasar random!

Aku dan Angga berjalan beriringan menuju parkiran. Lagi-lagi Irfan kembali menggelayuti pikiranku. Kali ini tatapan aneh tak biasa miliknyalah yang berputar seperti screen saver di kepalaku.

Aku masih dihantui tatapan itu sampai tiba-tiba suara Angga mengejutkanku. Lalu tiba-tiba saja aku sudah terantuk tubuhnya. "Awas!" pekik Angga.

Sepersekian detik aku terpana melihat saluran air terbuka di depanku. Aku mengerti kenapa Angga menarikku. Hampir saja aku terjatuh ke dalam saluran air itu.

"Kamu nggak lihat ya ada selokan di depan? Bagaimana tadi kalau kamu jatuh?" Angga mengomel.

Aku tersenyum melihatnya. Sosok keabangannya keluar. Dia terlihat lucu saat marah begini.

"Kenapa senyum?" cetus Angga. Kali ini terdengar lebih galak, tapi malah terlihat lucu buatku.

Aku menahan tawa melihatnya. Dari wajahnya aku tahu dia pasti sedang marah campur khawatir. Ah, dasar Angga!

"Maaf," kataku akhirnya setelah mengendalikan rasa geliku. Aku berusaha terlihat setulus mungkin mengatakannya.

"Lain kali hati-hati, jangan ngelamun terus!" kata Angga. Dia luluh.

"Iya," aku mengangguk.

Kami mengambil motor kami di parkiran lalu menaikinya ke luar.

"Kita mau jalan ke mana?" tanyaku menyejajari motor Angga di jalan.

With Luv (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang