Langit Bandung terlihat begitu cerah meskipun sang mentari masih bersembunyi dibalik awan-awan dan enggan untuk muncul begitu cepat. Meski udara masih terasa sejuk dan dingin, namun peluh terus menetes di dahi seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengah lintasan lari dan mencoba mengatur nafasnya sebaik mungkin. Sudah lebih dari 3 kali putaran, namun tidak ada sedikitpun rasa ingin beristirahat untuk menyapu sebagian keringatnya atau paling tidak membasahi kerongkongannya yang mulai kering. Alea menatap track lari di depannya itu, sebelum kembali mengayunkan kedua kakinya dengan cepat.Hampir setiap pagi, Alea akan menghabiskan waktunya untuk berlatih. Ia akan membersihkan dirinya terlebih dahulu di kamar mandi GOR, sebelum berangkat ke sekolah. Rutinitas yang selalu ia lakukan jika tidak ada upacara pagi. Dan hari ini, dengan langit biru yang bersinar terang, Alea akhirnya memutuskan untuk segera pergi ke sekolah saat melihat orang-orang mulai berdatangan.
"Sarapan lagi?" tanya Gina, seorang atlet lari yang setiap hari melakukan latihan di tempat Alea latihan juga. Gina adalah mahasiswi semester 3 di salah satu universitas negeri di Bandung. Kakak kelas Alea saat SMA, dan teman Alea di salah satu perlombaan atletik. Bagi Alea, Gina adalah salah satu teman, mentor, pelatih dan terkadang bisa menjadi Ibu Alea.
Alea menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Gina saat ia merapikan seragamnya yang terlihat sedikit kusut. "tumben lo udah dateng jam segini? Ada perlombaan apaan?" tanya Alea yang sudah tahu kalau Gina datang pagi-pagi begini, pasti ada perlombaan yang mengharuskannya latihan lebih awal.
"antar kampus se-Bandung. Lo dateng ya. Katanya ada Bu Eni juga. Rumornya sih, dia bakal liat potensi para pelari mana saja yang pantes buat dia ambil ke timnas," jawab Gina semangat.
Melihat seragamnya sudah terpakai dengan rapi, Alea menarik karet rambutnya, dan membiarkan rambutnya tergerai begitu saja. "Goodluck, deh. Gue yakin lo bisa. Kalo lo bisa masuk, peluang gue buat masuk juga banyak. Tinggal lo alusin aja tuh Bu Eni. Ya, nggak?" kata Alea dengan tawa kecilnya ketika Gina memberikan pukulannya pada lengan Alea saat melewatinya.
"dasar otak politik," balas Gina. Alea duduk di samping Gina, dan mengikat tali sepatunya yang masih teruntai asal. "ngomong-ngomong, Bima ngechat lo nggak?" tanya Gina pada Alea. Bima adalah kekasih Gina. Dan entah kenapa, disaat keduanya tengah bersitegang, harus Alea yang ikut turun tangan. Alea menyelesaikan tali sepatunya, sebelum menatap Gina yang menanti jawabannya.
"Makanya, kalo punya pacar itu jangan yang batu. Udah tau lo batu, masih nyari yang batu. Kalo gini, gue kan yang repot," semprot Alea yang kesal dengan sikap keduanya. "mending lo temuin dia, bicarain baik-baik. Lo berdua udah dewasa. Tapi masih butuh bantuan bocil. Lo pikir gue nenek kalian?" Alea memanggul ranselnya sebelum bangkit dari tempatnya.
"Udah gue bilangin kalo lo lagi sibuk-sibuknya latihan. Jadi gue suruh dia buat ngertiin lo, dukung lo. Bukan ngilang nggak jelas," kata Alea yang membuat Gina mendongak dan melemparkan senyuman lebarnya. "seneng?" tanya Alea melihat ekspresi wajah Gina.
"Lo emang sahabat, adik dan nenek terbaik gue," jawab Gina sembari mengacungkan kedua jempolnya, pada Alea yang melangkah keluar ruang ganti. "Al, jangan lupa ntar sore bawain legging gue yang lo pinjem! Besok pagi mau gue pake!" teriak Gina ketika ingat bahwa celana legging miliknya masih berada di rumah Alea. Merasa bahwa Alea tidak mendengarnya, membuat Gina beranjak dan berniat berlari kecil menyusul Alea, ketika suara cewek itu terdengar di lorong. "kebiasaan jadi orang kalo diomongin nggak pernah jawab," gumam Gina kembali mengikat tali sepatunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouched
Teen FictionAku tidak pernah setakut ini. Bahkan dengan segala sesuatu yang terjadi di sekitarku. Merasakan segala hiruk pikuk yang membuatku ingin menghilang. Membuatku ingin mengakhiri segalanya. Namun ada satu hal yang membuatku bertahan. Membuatku kembali m...