Memoria [part 2]

568 75 40
                                    

●●Author pov●●

Seorang gadis berusia 17 tahun tengah membolak balik bukunya dengan teliti di atas meja perpustakaan, rambut hitam pekat dia ikat agar tidak mengganggu konsentrasinya. Manik matanya berwarna biru laut, yang menenangkan serta menenggelamkan. Diseragamnya yang lusuh terdapat nametag sebagai tanda pengenal, bertuliskan Belve Princiella.

Dia anak rajin di sekolah dan mendapat beasiswa penuh tanpa membayar sepeserpun, kepintarannya yang diluar nalar manusia itu membawa banyak keberuntungan baginya. Belve akan menjadi beban untuk keluarga angkatnya jika tidak berusaha sendiri, dia bahkan tidak akan bersekolah jika saja tidak mendapat tawaran beasiswa.


Sesekali ia menghela nafas kasar, karena banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya tidak ditugaskan untuknya. Belve pergi mengganti bukunya dengan buku lain yang ada di rak rak perpustakaan, sambil terus berusaha agar selesai secepat mungkin.

"Ayolah, hanya beberapa soal lagi." ujarnya menyemangati diri sendiri, tanganya perlahan memijit batang hidungnya pelan guna mengurangi rasa pusing.

"Buku tentang sejarah mesir ada di rak nomor 7, aku akan menyelesaikan 3 soal ini dulu." baru saja ia menaiki anak tangga, suara bel tanda masuk kelas berbunyi memanggil para murid agar kembali masuk kelas. Dengan terbirit-birit ia berusaha berlari menuju kelasnya karena seseorang pasti telah menunggunya, orang yang menyuruh Belve mengisi soal-soal yang menumpuk itu.

"Bukankah kau pintar, Kenapa mengerjakan punyaku saja lama sekali!." ucap seorang lelaki di ujung lorong, lelaki itu mengenakan seragam secara tidak rapi.

Ia tidak memakai Almamater dan tidak memakai dasi dengan benar, parahnya lagi ia mempunyai tatto di lehernya yang berbentuk elang. Seharusnya disekolah mereka tidak mengizinkan murid untuk berseni di atas tubuh mereka, namun peraturan sekolah kalah berat dengan orang yang berharta.

"Maaf boy aku sudah berusaha secepat mungkin, seharusnya kau memberitauku kemarin." jelas Belve pada lelaki yang ia panggil boy, sebenarnya namanya bukan boy tapi Jameson Thornley.

"Jadi kau menyalahkanku?!." Bentak Jameson sembari menarik rambut Belve, matanya melototi Belve yang ketakutan.

"Maaf..."

"Kenapa ada orang seperti dia di dunia ini." bisikan seorang murid yang lewat, membuat Belve berpikir.

"Benar... kenapa ada aku di dunia ini ?"

"Kenapa ada orang menyedihkan ini"

"Semua orang membenciku, sampai aku ikut membenci diriku sendiri"

Keluarga Thornley memutuskan memanggil jameson dengan panggilan boy, karena ia anak satu satunya mereka yang kebetulan adalah laki-laki. Sedangkan Belve adalah anak angkat mereka, James Thornley merupakan ayah Jameson yang menemukan Belve dihutan saat berkerja.

Pekerjaan sang ayah adalah seorang pemburu, ia akan mengasilkan uang dari menjual kulit hewan buruannya. Dengan  berdasarkan keunikannya serta jenisnya, James bisa menghasilakan uang yang banyak. Karena merasa ingin memiliki anak perempuan, akhirnya james membawa Belve kerumahnya dan membesarkannya bersama istrinya dan jameson yang hampir berumur 1 tahun.

Jameson dulunya tak bersikap sekejam ini pada Belve, namun seiring bertambahnya usia Jameson sadar akan posisi Belve di keluarganya. Tak jarang pula Jameson bersikap semena-mena pada Belve, sedangkan orangtuanya hanya diam tanpa membela salah satu ataupun menengahi mereka.

Phoenix for AlphaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang