Part 9

2.3K 48 4
                                    

ISTRIKU TUA
#IT

PART 9 👉

Sejak pertengkaran malam itu, aku sudah menghapus pertemanan dengan Gisela di facebook di depan Fani dan berjanji untuk tidak menduakannya lagi. Hem, itu hanya janji. Masalah bisa terpenuhi atau tidaknya aku tidak tahu juga. Yang terpenting sekarang, Fani bisa percaya dan luluh lagi hatinya padaku.

"Sayang, ayo sarapan dulu! Mas sudah bikin nasi goreng untukmu," sambutku pada Fani ketika keluar dari kamar.

Fani sudah bersiap mau berangkat kerja. Pagi ini dia masih mengenakan kacamata kala berangkat kerja, karena lebam di mata bekas pukulanku waktu itu masih membekas. Padahal sudah seminggu.

Fani terlihat melihat arloji di pergelangan tangannya.

"Baru jam setengah tujuh, Dek. Ayo!" aku menarik tangan Fani dan menuntunnya duduk di depan meja makan.

"Ayo, sayang ... dicicipi dong masakan Mas!"

"Iya, Mas. Makasih, ya." Fani senyum sumringah sambil memakan nasi goreng buatanku.

Yes, akhirnya Fani bisa tersenyum lagi dan kembali kepelukanku.

Setelah menghabiskan sarapannya, Fani bergegas meraih tas dan bersiap berangkat kerja. Aku mendekat kearahnya dan mendaratkan beberapa ciuman di pipi sambil memeluk tubuh gembrot istriku yang tua itu.

"Mas, Adek mau berangkat," rengeknya manja sambil menahan geli karena cumbuanku.

"Ayolah, sayang! Sebentar saja kok," bisikku sambil menariknya ke dalam kamar.

Hem, Fani tak akan pernah menolak kalau diajak bercinta. Malah dia yang selalu mengajak setiap malam, kadang aku saja yang menolak karena bosan. Ah, dasar wanita tua budak nafsu. Aku memang sengaja memberinya servis sepagi ini, agar Fani semakin cinta dan luluh lantak hatinya padaku. Aku berhasil!

Setelah lelah bercinta beberapa ronde, Fani bergegas berangkat ke sekolah. Aku tersenyum puas melihat Fani sudah kembali seperti biasa lagi, dia sudah tidak marah lagi dan sudah memaafkanku.

********

Beberapa hari ini aku selalu berusaha menyenangkan hati Fani, agar ia percaya kalau aku sudah berubah. Setelah kondisi kembali kondusif, aku akan kembali menghubungi Gisela. Tapi, pastinya harus lebih hati-hati lagi. Setelah meng-add dia dengan akun facebook baru, aku mengirim chat padanya.

[Apakabar sayang? Masih ingat aku? Bang Fahmi.]

Semenit, dua menit, dan satu jam. Chatku hanya di baca tanpa di balas. Ah, Gisela pasti marah denganku. Galau deh!

Aku berbaring di sofa depan tv dengan ponsel di atas dada, sambil sesekali membuka chat. Menunggu balasan dari Gisela, gadis cantik yang selalu hadir di dalam mimpiku. Hingga mata terasa berat dan akhirnya terlelap.

Dan ketika tersadar, Fani sudah duduk di depanku sambil memegang ponsel milikku.

"Dek, kok ponsel Mas ada sama Adek sih?" aku mengulurkan tangan hendak meminta ponselku kembali.

"Mas!" jerit Fani sembari membanting ponselku ke lantai dan menginjaknya.

Aku meringis ngeri, "ada apa sih, Dek? Kamu kesambet ya?"

"Kamu sudah janji untuk tidak menghubungi cewek itu lagi, tapi nyatanya apa? Kamu malah chat dia lagi!" Fani mendorong tubuhku.

"Apa sih, Dek? Jangan asal tuduh gitu?" aku bangkit dari sofa dan membalas tatapan garang Fani.

"Jangan bohong, Mas. Aku sudah buka chatan kamu tadi. Jangan pernah membohongiku! Setan kamu, Mas!" Fani memakiku sambil berteriak kencang.

Astaga, darahku naik ke ubun-ubun. Wanita tua ini harus diberi pelajaran agar dia tidak kurang ajar lagi padaku. Berani sekali dia menyumpahiku!

'Plak' kulayangkan tamparan keras di wajahnya.

"Aaagh," jerit Fani sambil memegangi wajahnya.

Darah segar mengalir dari hidungnya, aku tidak perduli.

"Mas, lagi-lagi kau memukulku! Kurang ajar sekali! Dasar laki-laki tidak tahu diuntung! Bajingan tengik!" Fani memukulku membabi buta.

"Dek, jaga mulutmu! Aku ini suamimu, di mana sopan santunmu?" aku menendang tubuhnya hingga terpental ke dinding.

Fani memegangi kepalanya yang memar karena terbentur dinding, darah di hidungnya juga masih mengalir.

"Mas, cukup sudah kau menyiksaku. Pergi kau dari rumahku!" jerit Fani dengan tangisnya. "Aku menyesal menikah denganmu, aku ingin bercerai!"

Deggg, astaga, Fani. Aku belum siap jadi duda miskin.

"Dek, maafkan, Mas." Aku mendekat kearahnya.

"Jangan mendekat, pergi kamu, Mas! Pergi tanpa membawa apapun dari rumahku!" Fani bangkit dengan sambil memegangi dinding. Tubuhnya sempoyongan, kondisinya sangat menyedihkan.

"Dek," panggilku dengan tampang memelas.

"Segera angkat kaki dari rumahku! Oh iya, lepas semua pakaianmu! Kamu tidak mempunyai apa-apa. Semua yang kamu pakai sekarang adalah milikku. Hemm, keluar dari rumahku hanya dengan mengenakan celana dalam saja!" Fani mendekat kearahku dan melucuti pakaianku.

Ya Tuhan, kini aku hanya tinggal mengenakan celana dalam saja. Fani, tega sekali dirimu!

"Dek, Maafkan, Mas. Ampun, Dek!" aku berlutut di kakinya.

Fani terdiam sambil terus terisak, air mata membanjiri wajahnya hingga menetes di kepalaku.

"Mas janji gak akan macam-macam lagi, Mas hanya iseng saja. Mas cinta dan sayang cuma sama Adek seorang. Jangan mencampakan Mas, Dek!" aku masih mengiba padanya.

"Dek, maafkan, Mas." Aku meraih tangannya dan mencium punggung tangan keriput itu.

Fani masih diam, dia pasti sekarang sedang dilema. Aku yakin sekali dia tidak benar-benar ingin berpisah denganku. Palingan juga hanya menggertak saja. Oke, aku akan pura-pura takut dan mengalah, Sayang. Sebab aku belum siap harus kehilangan tulang punggungku, Harfani. Tanpamu, kenikmatan hidupku sirna.

Bersambung ....

Istriku TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang