ISTRIKU TUA
#ITPART 10 👉
"Sayang, please ... maafin Mas, ya! Beri Mas satu kali kesempatan lagi, Mas janji gak akan pernah mencoba berselingkuh dan melakukan kekerasan lagi padamu. Maafkan kekhilafan Mas, Dek!" aku masih memelas pada Fani. Ini bukan mengemis namanya, hanya salah satu bentuk usahaku untuk tidak terlempar dari kesejahteraan yang sudah kudapatkan dua tahun ini. Setahun masa pacaran dan setahunnya lagi masa menikah.
Fani masih diam, air mata semakin membanjiri wajah penuh kerutan itu. Sekarang ini kulitnya tak lagi kencang sepertu dulu. Maklum, semenjak dipecat dari pekerjaannya dahulu, dia sudah tidak pernah perawatan ke salon lagi.
"Dek, maafkan, Mas. Mas tidak tahu juga kenapa juga akhir-akhir ini jadi emosian begini. Mas minta maaf sudah memukulmu, balas, Dek ... ayo, balas!" aku menarik tangan Fani dan memukulkan tangan itu ke wajahku berkali-kali.
Tak cukup dengan itu, dramaku terus berlanjut. Kubenturkan kepalaku ke dinding berkali-kali. Sumpah, ini sakit banget. Tapi demi tidak sirnanya kesejahteraan hidup ini, aku rela benjol. Yang penting tidak sampai geger otak dan amnesia.
Fani masih diam dan menatapku dengan pandangan kosong. Wanita tua itu mulai berhati batu, astaga. Apa aku harus bunuh diri dihadapannya baru dia percaya? Aku makin dongkol.
Lalu kubenturkan juga tubuhku, ini juga demi Fani. Demi kenyamanan jiwa dan ragaku, semoga Fani percaya.
Fani masih tak bergeming. Aku manarik napas lelah, ya sudah aku pura-pura pingsan saja. Kujatuhkan tubuh ke lantai dan melemaskan seluruh organ tubuh.
"Mas," teriak Fani dan langsung memeluk kepalaku yang terkulai di lantai.
Yes, Fani masih peduli padaku. I love you Fani. Aku menahan senyum.
"Mas, kamu kenapa?" suara Fani terdengar panik. "Bangun, Mas!" Fani memegang pipiku.
Beberapa menit kemudian, aku membuka perlahan mata.
"Dek, maafkan, Mas ya!" ucapku lirih.
"Sudahlah, Mas. Jangan berlaku bodoh begini," jawab Fani sambil terisak.
"Jadi, kamu masih belum mau memaafkan, Mas? Oke, Mas akan bunuh diri dihadapan kamu, Dek." Aku bangkit dan berlari menuju dapur, mengambil sebilah pisau. Dan tak lupa memercikan segelas air ke wajahku agar terlihat seperti air mata.
"Dek, selamat tinggal. Maafkan Mas sudah menyusahkan hidupmu selama ini. Hidup Mas tak ada artinya tanpa kamu, Dek. Mas cinta sama kamu," ucapku sambil membenamkan pisau di pergelangan tanganku.
"Jangan, Mas!" teriak Fani dan mendekat kearahku.
"Kamu tidak mau memaafkan Mas. Jadi, lebih baik Mas mati. Mas tidak akan bisa hidup kalau berpisah dengannu, Dek. Kamu itu cinta pertama dan terakhir, Mas. Kamulah wanita pertama yang mengajari Mas tentang cinta. Kamu segalanya bagi Mas, Dek. Selingkuhan di ponsel itu, hanya keisengan Mas saja." Aku semakin menekankan pisau itu, tak apalah luka sedikit. Yang penting Fani bisa luluh lagi.
"Mas, jangan! Buang pisau itu!" Fani memelukku dan membuang pisau itu dari tanganku.
"Biarkan Mas mati, Dek!" aku meronta dipelukannya.
"Jangan, Mas! Adek sudah memaafkan Mas," ucap Fani dalam tangisnya.
"Benar, Dek? Kita gak jadi cerai?" aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Mas. Tapi, janji ... jangan pernah seperti ini lagi!" ujar Fani manja.
"Iya, sayang. Mas janji, terima kasih sudah memaafkan, Mas." Aku mengecup keningnya.
"Ayo duduk, Mas! Adek ambil kotak obat dulu," ucap Fani seraya berlari menuju kamar, mengambil kotak obat yang ada di lemari.
*********
Aku menarik napas lega sambil mengerutkan dahi, sedangkan Fani membalut pergelangan tanganku yang terluka. Setelah itu, gantian aku lagi yang mengobati Fani. Mengompres hidung dan kepalanya yang memar, setelah itu menempelnya dengan hansaflash.
"Mas tidak tahu juga akhir-akhir ini sulit sekali mengontrol emosi, dulu juga ... tidak. Mungkin karena perekonomian kita yang semakin merosot, Dek. Jadi pikiran Mas kacau sekali, pengennya marah terus," ucapku dengan seribu alibi.
Fani hanya diam, mungkin dia sedang mencerna omonganku.
"Mas itu pengen bantu kamu kerja, Dek. Tapi kendalanya motor kita cuma satu." Aku menarik napas sambil meraih tangan Fani kedalam genggamanku.
"Iya, Mas. Maafkan Adek juga," jawab Fani dengan tatapan mata sayu.
"Gimana kalau rumah ini kita jual saja, Dek! Uangnya bisa buat modal Mas usaha, beli motor dan pulang kampung pas lebaran nanti."
"Ehm, terus kita tinggal di mana, Mas?"
"Kita ngontrak saja. Mas pengen mudik, Dek. Kangen Ibu sama Bapak. Sudah dua tahun tidak bertemu. Kamu juga apa gak pengen ketemu Ibu dan Bapakku secara langsung?" bujukku lagi.
"Pengenlah, Mas. Cuma ... "
"Kamu pikirkan saja dulu usulan Mas ini!"
"Iya, Mas. Adek akan usahakan dana untuk kita mudik nanti," ujar Fani dengan raut wajah serius.
"Ongkosnya mahal lhoh, Dek."
"Iya, Mas. Kalau gak ada jalan lain, Adek setuju kok rumah ini dijual. Tapi sekarang, Adek usahakan dulu uangnya. Kan masih ada waktu lima bulan lagi menjelang lebaran."
"Iya, sayang. Sudah pukul 02.00, ayo kita tidur!" aku menggandeng Fani ke kamar.
Hem, malam ini kami lewati tanpa bercinta. Maklum, tenaga sudah terkuras karena baku hantam tadi. Tapi, sekarang aku bisa bernapas dengan tenang. Fani sudah kembali seperti sedia kala, dia memang istri terbaikku. Semoga saja dia bukan istri terakhirku.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Tua
General FictionFahmi, pemuda miskin dan pemalas yang menikahi Harfani hanya demi kesejahteraan hidupnya. Wanita berumur 43 tahun itu begitu mencintai pemuda yang umurnya berbeda 23 tahun dengan dirinya, hingga rela meninggalkan segalanya. Tiga orang anak juga suam...