ISTRIKU TUA
#ITPART 11 👉
Kehidupanku dengan Fani tetap berjalan monoton, dia tetap berkerja dari pagi sampai malam. Sedang aku, masih makan tidur di rumah. Tak ada yang istimewa setiap harinya, aku mulai bosan.
"Mas, Adek sudah telat satu minggu lhoh," ucapnya malam itu ketika sudah berbaring disampingku hendak tidur.
"Masa, Dek? Jangan-jangan kamu hamil?" tanyaku senang dan langsung bangkit dari tempat tidur.
"Belum tahu juga, Mas. Semoga saja impian kita untuk segera punya anak bisa segera terkabul. Adek sudah beli testpack, besok pagi baru di test."
"Semoga saja Adek benaran hamil, Mas ingin anak kita perempuan. Wajahnya cantik, kulitnya putih, tubuhnya montok dan menggemaskan," ujarku sembari mengelus perut Fani.
"Iya, Mas. Semoga saja," jawab Fani dengan senyumnya.
*********
Pagi pun tiba, aku sudah tidak sabar menunggu Fani keluar dari kamar mandi.
"Gimana, Dek? Positif, kan?" tanyaku tak sabar.
Wajah Fani lesu, "maafkan Adek, Mas. Hasilnya masih negatif."
"Aghhhh, lagi-lagi negatif! Ini sih gak bakalan pernah punya anak kita, mandul sih kamu!" bentakku kasar dan langsung duduk manyun di depan meja makan.
"Mas yang sabar, ya. Mungkin Allah belum mempercayai kita untuk nikmat itu, kita tetap berdoa dan ikhtiar."
"Ah, kalau kayak gini sih hidup kita tidak ada perubahannya. Gak ada tawa anak kecil yang Mas impikan, aggghhh .... "
Fani terdiam dan tampak sedang berpikir keras.
"Mas butuh refresing, Dek. Mas bisa stres kalau seperti ini terus, kenapa sih semakin hari hidup kita semakin suram begini? Mas kangen liburan seperti kita masih pacaran dulu. Setiap bulan kamu pasti dinas luar kota dan Mas selalu kamu turut sertakan, Mas kangen masa-masa itu, sayang." Aku menatapnya dengan nelangsa. "Kita liburan ke Pantai Kuta, Bali. Pulau Komodo, Nusa tenggara. Lombok, Jogja, Papua. Ah, hidup kita benar-benar jauh dari kenikmatan."
"Maafkan Adek, Mas." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Fani, aku muak. Dia tak lagi bisa membuatku senang, aku mulai goyah.
*********
Rumah yang kami tempati sudah mulai kami pasarkan untuk di jual, tapi belum juga laku. Padahal sudah banyak yang datang untuk melihat. Tapi belum ada yang jatuh hati, harga juga sudah kami turunkan.
Suatu hari, hujan turun sangat lebat. Semakin malam malah semakin deras, tidurku semakin nyenyak dan enak.
"Mas, bangun, Mas!" suara berisik Fani membuyarkan mimpiku.
"Apa sih, Dek?" aku menepis tangannya.
"Rumah kita tergenang banjir, Mas. Cepatan bangun!"
Aku langsung membuka mata dan ketika bangkin dari tempat tidur, kamar kami sudah tergenag air setinggi mata kaki.
"Astaga, Dek! Kok bisa?" jeritku panik sambil berdiri diatas tempat tidur.
"Mungkin karena hujan yang tak kunjung reda, Mas. Ayo, kita segera berkemas, Mas!" Fani segera menaikan barang-barang yang berada di lantai ke atas tempat tidur.
"Dek, PSku kena air, aduh ... rusak deh. Resiver tv juga, aggghhh .... " jeritku kesal.
"Laptop Adek juga kena air, Mas."
"Astaga, kok bisa seperti ini sih? Benar-benar apes!" aku membuka pintu kamar.
Air di sini, lebih dalam lagi. Sebetis orang dewasa, aku berjalan menuju dapur.
"Ya Tuhan, kulkas dan mesin cuci juga hampir tenggelam. Sial!" umpatku kesal. "Aduh, Dek ... kamu kok gak bangunin Mas dari tadi sih? Habislah barang-barang kita. Rumah ini pembawa sial, pokoknya harus segera dijual, Dek!"
"Adek juga baru tersadar, Mas. Kita tidur sama-sama pulas."
"Aduh, Mas kebelet pipis, Dek." Aku menuju kamar mandi. "Agghhh ... Ada Ular, Dek." Aku histeris dan langsung memeluk Fani.
"Masa sih, Mas? Coba Adek lihat .... " Fani membuka perlahan pintu kamar mandi. "Ya Allah."
"Aduh, Dek. Usir Ular itu! Mas takut di gigit," jeritku ngeri sebab aku memang paling takut sama Ular. Untuk melihat kulitnya saja tempo di desa dulu, aku sudah lari tunggang langgang.
"Adek juga takut, Mas."
"Terus kita harus gimana?" rengekku.
"Ya sudah, kita mengungsi saja dulu."
"Mau mengungsi ke mana, Dek? Kita kan gak punya sanak keluarga di sini."
"Ke rumah Burhan saja gimana, Mas?" usul Fani. Lagi-lagi si Burhan yang diandalkan, dia mantan staf Fani di kantor dulu. Orangnya baik dan suka menolong. Kadang aku cemburu juga sama si Burhan, untung dia sudah punya anak dan istri. Jadi, aku tidak terlalu khawatir kalau Fani dekat dengannya.
"Malu, Dek. Ini baru pukul 02.00 dini hari, malu dong merepotkan orang jam segini."
"Iya juga sih, Mas. Ya sudah, kita cari hotel yang dekat sini saja. Biar sampai airnya surut kita tinggal di hotel dulu."
"Nah, kalau begitu Mas mau." Aku tersenyum senang.
Setelah mengemas pakaian dan surat-surat penting ke dalam tas besar, kami bergehas memacu motor melewati banjir untuk mencari hotel. Hotel pertama, penuh. Hotel kedua dan ketiga juga penuh.
Dan akhirnya, kami terdampar menunggu pagi di rumah Burhan. Menghilangkan rasa malu karena bertamu subuh buta. Setelah waktu menunjukan pukul 06.00, Burhan membantu kami mencari penginapan. Karena dia memang asli orang kota ini, jadi dia tahu lokasi tempat manapun.
*********
"Mas tinggallah di sini, Adek mau lihat keadaan rumah kita dulu," ucap Fani keesokan harinya. Sudah sehari semalam kami di hotel ini, serasa bulan madu.
"Iya, Dek. Kalau airnya sudah surut, kamu bersihkan ya, Sayang. Kalau sudah beres semuanya, baru jemput Mas ke sini." Aku mengulurkan tangan dan membiarkan Fani mencium punggung tanganku.
Fani berlalu, aku kembali ke tempat tidur. Tapi mata enggan terpejam, dan akhirnya aku memilih keluar dari kamar. Duduk bersantai di cafe yang terletak di lantai atas. Hem, asyik juga. Apalagi, banyak cewek cantik juga di sini. Lumayan, obat penghilang stres.
Ketika sedang asyik merokok sambil menghirul secangkit capucino, seorang wanita mendekatiku. Mungkin dia seumuran dengan Fani.
"Boleh saya duduk di sini?" sapanya.
Aku sedikit gugup, "Silakan!"
"Sendiri saja?" tanyanya sok ramah.
"Iya," jawabku singkat.
Wanita itu tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku, "Sampai lupa memperkenalkan diri, maklum ... pangling lihat kamu. Cakepnya full."
"Makasih atas sanjungannya, saya Fahmi," jawabku agak tersipu karena pujiannya.
"Saya Hanum, panggil saja tante Hanum," ucapnya genit sambil meremas jemariku.
"Iya." Aku menggeser tempat duduk dan sedikit risi juga. Aku ini seorang suami baik-baik, bukannya gigolo. "Maaf, saya pria baik-baik. Mungkin anda salah duga .... "
"Saya tahu kok siapa kamu, saya juga kenal sama si Fani. Ini kartu nama saya," dia meletakkan sebuah kartu nama dihadapanku. "Kalau Fani sudah tidak bisa membahagiakanmu, datang saja padaku! Aku akan menerimamu dengan senang hati dan aku bisa memberikan lebih dari Fani. Aku akan memberikan semua yang kamu mau. Hidupmu terjamin denganku," ujar wanita yang bernama Hanum itu. Penampilannya sungguh glamor, tapi malah terkesan norak di mataku. Tubuhnya memang langsing dan tak segembrot Fani, tapi ... ah, aku mulai dilema.
'Cup' wanita itu tiba-tiba saja mendaratkan bibir merahnya di pipiku. "Daaa ... cakep, tante pergi dulu."
Cih, menjijikan sekali! Genitnya gak ketulungan, Faniku dulu awal bertemu tidak seagresif itu.
Bersambung .....
***
Yang mau baca kelanjutannya, bisa ke google play, ya, gaes, sudah tersedia versi ebooknya. Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Tua
General FictionFahmi, pemuda miskin dan pemalas yang menikahi Harfani hanya demi kesejahteraan hidupnya. Wanita berumur 43 tahun itu begitu mencintai pemuda yang umurnya berbeda 23 tahun dengan dirinya, hingga rela meninggalkan segalanya. Tiga orang anak juga suam...